Sabtu malam lalu, di sebuah cafe, menikmati secangkir lemon tea hangat. Duduk berhadapan dengan kamu, menunggu kamu selesai menghabiskan makan malammu, terperangkap karena kamu memaksaku menemanimu makan malam. Padahal aku baru saja makan sebelumnya, bersama teman-temanku, sepulang nyanyi-nyanyi karaokean mengeringkan tenggorokan. Kamu memang sahabatku, yang punya banyak mau, dan sejuta cara untuk membuatku menuruti kamu. Terlalu...
Disekap rasa bosan, aku mulai melakukan hobiku, mengamati orang. Dan kali ini, korbannya adalah kamu.
Duduk di hadapanku, rambut pendek tercukur rapi, sepasang mata sipit yang selalu hilang ketika tertawa, hidung yang cukup mancung, dan bibir yang entah sudah berapa milyar kali menyunggingkan senyum untukku sejak kita bertemu pertama kali dulu. Pipi yang tampak sedikit lebih gemuk dibandingkan dua bulan lalu, tubuh tinggi dan proporsional yang malam ini dibalut T-shirt putih polos dan jaket berwarna cokelat kopi dan celana jeans berwarna hitam, kulit putih yang dulu membuatku iri karena tidak juga berubah jadi hitam berapa lamapun dijemur di bawah terik matahari.
Di hadapanku, duduk kamu, sesosok laki-laki, sahabatku sejak kecil, yang diberi IPK 4.10 oleh teman-temanku karena menurut mereka berhasil memenuhi standard bibit, bebet, dan bobot cowok idaman. Memandangimu seperti itu, aku jadi bertanya pada diriku sendiri,
"Kenapa nggak bisa mencintai kamu?"
Teman-temanku bilang, kamu itu ganteng, mapan, mandiri, baik, seiman, keluargamu (terlalu) baik padaku, dan yang terpenting menurut mereka, sangat mencintaiku apa adanya. Berjam-jam mereka mengatakan aku bodoh ketika aku tidak juga bisa mengubah status kita dari sahabat menjadi pacaran. From a friend, to a lover. Dengan alasan, aku merasa bukan kamu orangnya... Entah kamu yang bukan untuk aku, atau aku yang bukan untuk kamu.
Aku coba menggunakan sisa-sisa logikaku. Dengan segala yang kamu punya, dan dengan segala yang sudah kamu lakukan selama ini sebagai sahabat maupun sebagai seorang laki-laki yang kata kamu mencintai aku, sudah lebih dari cukup alasan untuk memilih kamu dan menghentikan pencarianku.
Selama ini, kamu selalu ada sebagai orang yang tepat, di waktu yang tepat.
Dan kamu juga tidak pernah berhenti percaya... Meski tidak pernah berhenti khawatir juga.
Tapi nyatanya sampai detik ini tidak bisa juga. Hatiku nggak ingin menyerah pada logika. Dengan keras kepala, ia tetap saja berbalik ketika kamu mengatakan cinta, melangkah mundur ketika kamu mendekat. Ia tetap saja berkata padaku setiap kali aku berpikir untuk memilihmu, "Bukan dia... Tidak bisa."
Kamu percaya hatiku bilang seperti itu? Kamu pasti marah, aku sendiri marah. Marah karena aku tidak mengerti kenapa. Marah karena aku tidak mengerti kenapa tidak bisa. Namun semarah apapun, pada akhirnya kamu tahu aku tetap mempercayai hatiku.
Kamu meletakkan sendok dan garpumu. Makanan di piringmu sudah habis tak bersisa.
"Kenapa kamu ngeliatin aku aja dari tadi? Masih marah?"tanyamu.
Entah marah atau tidak, aku cuma diam. Seperti yang sudah aku hapal, kalau sudah seperti itu, tanganmu akan terjulur ke seberang meja, menarik pipiku gemas, dan mengacak-acak rambutku sampai aku merajuk sebal baru kamu berhenti.
"Tambah cantik jadinya kalo marah. Mau bikin aku tambah suka?"
Mendengar itu aku kembali tertegun, tidak tahu harus menjawab apa. Aku mengambil secangkir lemon tea ku, dan meminumnya seteguk sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela. Melarikan diri.
Sial! Lemon teanya masih panas, belum hangat. Aku mengipas-ngipas lidahku yang terbakar. Kamu tertawa sangat puas sambil menyodorkan segelas ice cappucinno pesananmu.
"Tehnya masih panas Ciel... Tiup dulu makanya. Kamu kan nggak pernah suka yang terlalu panas,"ujarmu sambil tersenyum geli.
Gosh, kamu memang yang selalu hapal apa yang aku suka dan aku tidak suka. Bahkan kadang kamu lebih ingat daripada diriku sendiri.
Aku kembali berpikir, laki-laki sebaik kamu, kenapa tidak bisa juga aku cintai? Dan kamu tidak juga menjauh, membuatku semakin merasa bersalah. Merasa bersalah karena menerima perhatian kamu yang entah itu diberikan sebagai sahabat atau sebagai laki-laki yang mencintaiku.
Aku berpikir apa yang salah? Di sebelah mana? Di aku atau di kamu? Apa yang kurang?
:aku pikir kesalahannya bukan ada pada kamu. Kekurangannya juga bukan ada di kamu. Cuma akunya saja yang belum mampu mencintai kamu. Hatiku belum mengizinkannya, dan nggak tahu apakah akan mengizinkan atau nggak.
Ditambah lagi, kamu tidak mau pergi dan menjauh, bahkan mengambil sedikitpun jarak. Kamu mau semuanya berjalan seperti biasa saja. Bagaimana bisa? Karena sekarang, sejak hari itu, setiap kali kita duduk berhadapan seperti Sabtu itu, aku tidak mengerti bagaimana harus memandangmu? Sebagai sahabat kecilku sekaligus partner in crimeku, atau laki-laki yang mengatakan cinta padaku?
Dan setiap kali kamu melakukan sesuatu untukku, aku selalu merasa bersalah karena tidak bisa membalasnya sesuai dengan harapanmu. Seperti Sabtu malam itu...
Ketika aku sudah duduk di kursi penumpang, di sebelahmu yang sedang menyetir, menyusuri jalanan Bandung yang ramai menuju kosanku, aku masih saja merasa bersalah. Tidak bisa tidak.