Monday, 30 April 2012

Saya dan Cahaya











saya ini tergila-gila pada cahaya
tidak tahu kenapa
saya dan cahaya
bagai pecandu dengan opiumnya
inginnya mereguk. terus mereguk
tidak puas-puas

cahaya apa saja
matahari yang menyengat
bulan yang merunduk malu-malu
lampu kota
lampu kamar
lampu senter
layar handphone
layar laptop berpendar
titik-titik hujan kemilau
kerlip bintang membuat silau

satu lagi
mata kamu
apalagi cahaya yang itu
lebih dari sekadar nyandu

Bieber, Random Country, and Those Beliebers



Sekeliling saya sedang ramai dengan isu Justin Bieber yang menyebut Indonesia sebagai 'random country' di salah satu sesi wawancaranya. Dimana-mana, yang ramai dibicarakan Bieber. Jenuh.

Berbagai komentar muncul mengenai kejadian ini. Ada yang mendukung Bieber, ada yang tidak. *kenapa nggak ada yang dukung saya? :p
Menurut saya, ini wajar. Segala sesuatu pasti akan menimbulkan berbagai macam reaksi dari dua sisi bukan?

Di satu sisi, Bieber memang patut disalahkan dan minta maaf. Karena, yang dia bicarakan adalah sebuah negara, untuk itu dia harus berhati-hati. Tidak semua orang itu Beliebers yang siap membela dia kapanpun dan apapun yang dia lakukan. Ada beberapa orang yang bahkan nggak kenal siapa Justin Bieber, dan tentu tidak rela jika negaranya disebut sebagai 'random country'.

Tapi di sisi lain, komentar-komentar yang mempersalahkan Bieber pun bisa dinilai berlebihan. Apalagi, di saat dia memang sudah meminta maaf. Ya udah, kalau udah minta maaf, semua selesai. Apa lagi yang harus dipermasalahkan? Masa butuh Biebernya datang langsung ke Indonesia terus salaman sama SBY? Nanti cuma ditanggapin sama curhat. *ups

Tapi saya pribadi juga sebenarnya menyangakan sikap beberapa Beliebers yang langsung saja membela Bieber tanpa tahu duduk permasalahannya, dan tanpa mau mengerti. Bisa jadi ini salah satu bukti bahwa nasionalisme anak-anak muda kita mulai semakin terkikis. Bisa dibayangkan? Rela negaranya disebut 'random country', asalkan itu oleh Justin Bieber? It such a fool!

Saya tahu dia itu star, idola, dan mereka fansnya. Tapi fans juga manusia, yang bisa salah, yang justru butuh diingatkan dan bukannya disemangati untuk terus berbuat salah. Kita pasti mau idola kita menjadi sosok yang semakin dan semakin baik bukan? Saya menyebutnya tumbuh bersama. Jadi, meskipun kita ngefans pada seseorang, kita tetap harus objektif.

Ada banyak hal yang bisa ditulis dari kejadian 'random country' ini. Tapi saya lapar sekarang. Sepertinya harus mencari makan terlebih dahulu. Hm... Andai Justin Bieber di sini sekarang, saya ajak dia wisata kulinet supaya dia tahu kalau 'random country'  yang dia bilang ini, punya banyak makanan luar biasa.

Akulah Balon










aku masihlah
sebuah balon di genggamanmu
di sela-sela jemari mereka
melayang diisi gas
diikat seutas tali
menjuntai tipis
berakhir di jari jemari

genggam aku sesaat
tahan aku sebentar
jangan seterusnya
aku ini ada
tapi bukan untuk selamanya
pilihanku cuma dua

kehabisan gas,
kemudian kempis
terkulai lemas
di genggamanmu
atau lepas
terbuai angin di langit luas
melayang hingga habis gas
mati dan jatuh entah dimana
yang pasti,
bukan di depanmu

Pagi Mentari

pagi mentari...!
pagi ini kamu agak genit
sedetik redup,
detik kemudian merona bagai pipi perawan
malu-malu
mengajak bermain
permainan apa yang kamu minta pagi ini?
mari kita mulai...
aku siap meladenimu
seharian

cahaya siapa yang akan bersinar hingga akhir?

aku? atau kamu?

Beating Myself

Saya sedang berusaha mengalahkan diri saya sendiri dalam beberapa hal. Bukan maksudnya mau menolak atau menaklukkan apa yang sudah ada, hanya saja saya pikir ini demi kebaikan saya sendiri.

Ada banyak hal yang terlalu menguasai diri saya hingga akhirnya suatu ketika menjegal saya dengan sendirinya. Jahat! Untuk itu, saya yakin harus ada yang berhasil saya kalahkan dari dalam diri saya sendiri.

1. Penyesalan tentang kamu


2. Ketakutan keluar dari comfort zone


3. Rasa ingin menunda


4. Label negatif


Tidak bisa dijelaskan satu per satu. Yang jelas, keempat hal tadi begitu mengikat saya dan pada akhirnya mengganggu rutinitas saya. Mungkin kalian juga merasakan hal yang sama. Sekarang ini mungkin ada yang masih merasa boros, malas, pendendam, atau mungkin sulit menepati janji? Pernah berpikir nggak kalau mungkin sifat dan sikap itu sedikit-banyak sudah menyusakan orang banyak? Kadang, kita suka nggak sadar.

Well, ada yang mau bergabung dengan saya untuk mengalahkan beberapa hal dalam diri kita?

Saya nggak terburu-buru... Saya yakin semuanya harus melalui proses yang dijalani dengan ikhlas dan komitmen. Ini tidak akan mudah.. Mengalahkan orang lain saja tidak mudah, apalagi mengalahkan diri sendiri. Tapi saya berusaha optimis saya bisa.

Morning sunshine... Let's shine this whole new day again...!

Sunday, 29 April 2012

Mencari Keikhlasan

Malam ini, sambil sesekali menatap titik-titik hujan di jendela, saya mencoba merangkai kata yang sanggup mendefinisikan perasaan saya. Ditemani lagu-lagu Frente, saya mencari dan memilah-milih kata.

Cinta. Apa benar kata itu kata yang tepat? Saya sadar saya ragu keluar dari comfort zone saya. Tidak mudah memang membuat saya keluar dari dunia yang sudah saya bangun. Saya bukan penjudi yang ulung... Saya sudah berulang kali berjudi, menyerahkan semua kepingan koin yang saya punya, dan hasilnya saya kehilangan jauh lebih banyak dari apa yang saya serahkan di meja perjudian. Dan sekarang, kepingan koin yang tersisa pada saya tidak banyak lagi... Untuk itu saya merasa saya perlu berhati-hati. 

Di antara obrolan-obrolan kita, kebersamaan kita meneguk senja, kekaguman saya pada kamu dan pemikiran-pemikiran kamu, pada kesederhanaan kamu, bisakah ini disebut cinta?

Andai saya bisa yakin untuk jatuh cinta semudah itu. Tinggal menarik napas, menjatuhkan diri, kemudian membiarkan diri saya tercebur ke dalam perasaan ini. Andai bagi saya jatuh cinta itu semudah membuat semangkuk cereal untuk sarapan pagi saya tidak akan pusing dan dengan gilanya menggunakan titik-titik hujan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian saya dari pikiran tentang perasaan ini.

Butuh keikhlasan untuk diam, menyimpan, dan berusaha untuk tetap tenang. Butuh keikhlasan untuk mengakui bahwa saya jatuh cinta pada kamu. Dan terakhir, butuh keikhlasan untuk siap kehilangan dan kembali terluka.

Memang kedengarannya sangat pesimis. Saya biasanya adalah orang yang sangat optimis terhadap sesuatu. Tetapi entah kenapa, untuk yang satu ini, saya memilih tidak berekspektasi apa-apa. Jika itu memang kamu, saya akan berlutut, menutup mata, mengatupkan kedua tangan, dan bersyukur. Jika itu bukan kamu pun, saya akan tetap melakukan hal yang sama. Sekarang saya hanya ingin mencari keikhlasan.

Mungkin mencarinya di sini, di kamar yang bernuansa pink dan ungu. Tempat saya menghabiskan waktu. Mungkin mencarinya di sana, di tempat kita biasa mereguk senja. Mungkin mencarinya di antara kilatan-kilatan bintang palsu. Mungkin mencarinya di lipatan-lipatan kemeja abu-abumu. Mungkin mencarinya di bawah secangkir kopi dengan satu sendok gula, teman kala aku menjadi 'kalong'.

Pada jejak basah sepatu kita di tanah selepas hujan. Pada tumpukan-tumpukan buku yang baru ku bereskan. Pada pagi yang membuatku merasa jatuh cinta berkali-kali. Atau justru malah pada kamu sendiri?

Thursday, 26 April 2012

Benang Kusut

ada untaian benang
panjang berjuntai-juntai
minta dirunut
minta digulung
minta dirapikan
lelah saling membelit
sini, sini... aku bantu
merunut satu per satu
mencoba mencari pangkal
dan menemukan ujung
menggulung dan menggulung
dari gulungan kecil
tumbuh menjadi besar
seolah diberi makan
gulungan benang yang lucu
kenapa tak habis-habis?
jemariku lelah
semakin tidak konsen
semakin takut
takut untaian ini tidak habis-habis
untaian benang jadi kusut!
menyebalkan!
semrawut. aku jadi kalang-kabut
bagaimana ini?
jemariku terbelit
mau berhenti tidak bisa
kelewat lelah untuk lanjut
untaian benang apa ini sebenarnya?
kenapa begitu kusut?
ku tengok lagi ujung hingga pangkalnya
ternyata benang ini adalah
: perasaanku


Out From My Comfort Zone

Banyak orang takut keluar dari comfort zone. Dalam hal perasaan, saya salah satunya.

Saya pernah menemukan orang yang tepat, kehilangan orang tersebut, berjuang bangkit bertahun-tahun, dan sekarang saya berhasil sembuh oleh waktu. Saya berhasil belajar dan berhasil mendapatkan kembali diri saya yang dulu. Dan saya menikmatinya....

Karena terlalu menikmatinya itulah, pada akhirnya saya jadi takut. Takut untuk kehilangan diri saya lagi, takut kalau kehilangan hidup saya lagi.

Kemarin, seorang kenalan saya berkata seperti ini,
"Kamu itu belum mampu mendefinisikan perasaan kamu sendiri. Kamu juga belum mau jujur sama diri kamu sendiri..."

Kena banget! Tepat di sasaran. Saya masih belum berani tegas ke diri saya sendiri kalau saya suka sama seseorang. Kenapa? Saya takut belum menemukan orang yang tepat. Pada akhirnya, saya mati-matian berusahan menolak. Meski saya tahu, menolak itu bukan jawabannya.

Tuesday, 24 April 2012

Sabtu Malam, Duduk Berhadapan Dengan Kamu

Sabtu malam lalu, di sebuah cafe, menikmati secangkir lemon tea hangat. Duduk berhadapan dengan kamu, menunggu kamu selesai menghabiskan makan malammu, terperangkap karena kamu memaksaku menemanimu makan malam. Padahal aku baru saja makan sebelumnya, bersama teman-temanku, sepulang nyanyi-nyanyi karaokean mengeringkan tenggorokan. Kamu memang sahabatku, yang punya banyak mau, dan sejuta cara untuk membuatku menuruti kamu. Terlalu...

Disekap rasa bosan, aku mulai melakukan hobiku, mengamati orang. Dan kali ini, korbannya adalah kamu.

Duduk di hadapanku, rambut pendek tercukur rapi, sepasang mata sipit yang selalu hilang ketika tertawa, hidung yang cukup mancung, dan bibir yang entah sudah berapa milyar kali menyunggingkan senyum untukku sejak kita bertemu pertama kali dulu. Pipi yang tampak sedikit lebih gemuk dibandingkan dua bulan lalu, tubuh tinggi dan proporsional yang malam ini dibalut T-shirt putih polos dan jaket berwarna cokelat kopi dan celana jeans berwarna hitam, kulit putih yang dulu membuatku iri karena tidak juga berubah jadi hitam berapa lamapun dijemur di bawah terik matahari. 

Di hadapanku, duduk kamu, sesosok laki-laki, sahabatku sejak kecil, yang diberi IPK 4.10 oleh teman-temanku karena menurut mereka berhasil memenuhi standard bibit, bebet, dan bobot cowok idaman. Memandangimu seperti itu, aku jadi bertanya pada diriku sendiri,

"Kenapa nggak bisa mencintai kamu?"

Teman-temanku bilang, kamu itu ganteng, mapan, mandiri, baik, seiman, keluargamu (terlalu) baik padaku, dan yang terpenting menurut mereka, sangat mencintaiku apa adanya. Berjam-jam mereka mengatakan aku bodoh ketika aku tidak juga bisa mengubah status kita dari sahabat menjadi pacaran. From a friend, to a lover. Dengan alasan, aku merasa bukan kamu orangnya... Entah kamu yang bukan untuk aku, atau aku yang bukan untuk kamu.

Aku coba menggunakan sisa-sisa logikaku. Dengan segala yang kamu punya, dan dengan segala yang sudah kamu lakukan selama ini sebagai sahabat maupun sebagai seorang laki-laki yang kata kamu mencintai aku, sudah lebih dari cukup alasan untuk memilih kamu dan menghentikan pencarianku.

Selama ini, kamu selalu ada sebagai orang yang tepat, di waktu yang tepat.

Dan kamu juga tidak pernah berhenti percaya... Meski tidak pernah berhenti khawatir juga.

Tapi nyatanya sampai detik ini tidak bisa juga. Hatiku nggak ingin menyerah pada logika. Dengan keras kepala, ia tetap saja berbalik ketika kamu mengatakan cinta, melangkah mundur ketika kamu mendekat. Ia tetap saja berkata padaku setiap kali aku berpikir untuk memilihmu, "Bukan dia... Tidak bisa."

Kamu percaya hatiku bilang seperti itu? Kamu pasti marah, aku sendiri marah. Marah karena aku tidak mengerti kenapa. Marah karena aku tidak mengerti kenapa tidak bisa. Namun semarah apapun, pada akhirnya kamu tahu aku tetap mempercayai hatiku.

Kamu meletakkan sendok dan garpumu. Makanan di piringmu sudah habis tak bersisa.

"Kenapa kamu ngeliatin aku aja dari tadi? Masih marah?"tanyamu.

Entah marah atau tidak, aku cuma diam. Seperti yang sudah aku hapal, kalau sudah seperti itu, tanganmu akan terjulur ke seberang meja, menarik pipiku gemas, dan mengacak-acak rambutku sampai aku merajuk sebal baru kamu berhenti.

"Tambah cantik jadinya kalo marah. Mau bikin aku tambah suka?"

Mendengar itu aku kembali tertegun, tidak tahu harus menjawab apa. Aku mengambil secangkir lemon tea ku, dan meminumnya seteguk sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela. Melarikan diri. 

Sial! Lemon teanya masih panas, belum hangat. Aku mengipas-ngipas lidahku yang terbakar. Kamu tertawa sangat puas sambil menyodorkan segelas ice cappucinno pesananmu.

"Tehnya masih panas Ciel... Tiup dulu makanya. Kamu kan nggak pernah suka yang terlalu panas,"ujarmu sambil tersenyum geli.

Gosh, kamu memang yang selalu hapal apa yang aku suka dan aku tidak suka. Bahkan kadang kamu lebih ingat daripada diriku sendiri.

Aku kembali berpikir, laki-laki sebaik kamu, kenapa tidak bisa juga aku cintai? Dan kamu tidak juga menjauh, membuatku semakin merasa bersalah. Merasa bersalah karena menerima perhatian kamu yang entah itu diberikan sebagai sahabat atau sebagai laki-laki yang mencintaiku.

Aku berpikir apa yang salah? Di sebelah mana? Di aku atau di kamu? Apa yang kurang?
:aku pikir kesalahannya bukan ada pada  kamu. Kekurangannya juga bukan ada di kamu. Cuma akunya saja yang belum mampu mencintai kamu. Hatiku belum mengizinkannya, dan nggak tahu apakah akan mengizinkan atau nggak.

Ditambah lagi, kamu tidak mau pergi dan menjauh, bahkan mengambil sedikitpun jarak. Kamu mau semuanya berjalan seperti biasa saja. Bagaimana bisa? Karena sekarang, sejak hari itu, setiap kali kita duduk berhadapan seperti Sabtu itu, aku tidak mengerti bagaimana harus memandangmu? Sebagai sahabat kecilku sekaligus partner in crimeku, atau laki-laki yang mengatakan cinta padaku?

Dan setiap kali kamu melakukan sesuatu untukku, aku selalu merasa bersalah karena tidak bisa membalasnya sesuai dengan harapanmu. Seperti Sabtu malam itu...

Ketika aku sudah duduk di kursi penumpang, di sebelahmu yang sedang menyetir, menyusuri jalanan Bandung yang ramai menuju kosanku, aku masih saja merasa bersalah. Tidak bisa tidak.

Sebuah Obrolan Hangat Sore Kemarin


Sore itu, selepas mengerjakan tugas di sofa ruang tunggu Pasca Sarjana bersama beberapa teman, kami melepas rasa penat dengan mengobrol hangat sambil menikmati es krim yang dingin. Favorit saya... :) . Senja, jingga, duduk di sofa yang nyaman, mengobrol dan tertawa bersama teman, dan saya punya es krim di tangan kanan saya. Lengkap.

Tema obrolan sore itu adalah 'cinta'. Seperti biasa, virus galau memang lebih mudah menyebar ketimbang virus bahagia. Diawali dari satu baris percakapan, berlanjut ke percakapan panjgn selama dua jam.

Ada satu pertanyaan salah satu teman saya yang sempat mengusik saya sore itu, "Kamu ini maunya mencintai apa dicintai sih?". Sesaat, saya diam. Jujur, saya ingin keduanya selayaknya orang lain. Dan sampai sekarang, saya belum menemukannya.

Teman-teman saya mempermasalahkan status 'kesendirian' saya. Mereka menganggapnya sebagai sebuah kebodohan emosional yang sama sekali nggak logis. Saya pikir saya setuju dengan mereka, di bagian pernyataan keduanya. Tapi saya pribadi nggak pernah merasa aneh dengan status kesendirian saya ini. Sebaliknya, saya menikmatinya secara wajar.

Saya bukan tidak mau punya seseorang, saya cuma tidak mau sembarang orang. Tidak mau pacaran hanya untuk supaya ada orang yang mengucapkan, "Semangat ya...", atau mengirimi pesan selamat tidur. Saya tidak hanya mencari itu. Saya akui, saya rindu ada orang yang memperhatikan saya dengan spesial seperti itu, tetapi bukan berarti saya harus mencari seorang pacar untuk mendapatkannya.

Saya sudah pernah mengalami masa-masa pencarian yang melelahkan itu. Menyukai orang yang tidak menyukai saya, disukai orang yang tidak saya sukai, saling menyukai tetapi kemudian saya pada akhirnya sadar bahwa saling menyukai saja tidak cukup, pindah dari satu relationship ke relationship lain. Dan sekarang saya sadar, saya lelah juga bosan. Bukan semua itu yang saya butuhkan.

"Carilah maka kamu akan mendapatkan..." 

Sebenarnya saya tidak terlalu suka konsep mencari. Sebut saja saya bodoh, tetapi saya lebih suka menunggu, menunggu orang yang tepat yang hadir di saat yang tepat. Saya pikir buat apa pacaran kalau tidak dengan orang yang tepat? Hanya untuk mendapatkan ucapan selamat tidur setiap hari? Saya merasa konsep seperti itu sama sekali bukan saya. Baiklah, silakan menyebut saya ribet dan kompleks... Saya sudah biasa mendengarnya. Tapi apa yang salah dengan menjadi ribet dan kompleks?

Meski akhirnya,
saya pikir saya juga tidak benar-benar 100% menunggu. Saya juga sedikit demi sedikit, perlahan mencari. Hanya saja sekarang ini saya tidak terlalu cepat memilih.

Mencari, tetapi tidak terburu-buru MERASA menemukan. Saya pikir manusia tidak harus mencari pasangan hanya karena tidak mau merasa sendiri dan dibilang nggak laku. Apakah pandangan orang lebih penting daripada perasaan diri sendiri? Kalau saya, enggak.

Saya tidak punya tipe atau ukuran yang pasti. Saya biarkan semuanya mengalir, Tuhan yang atur. Saya cuma melakukan porsi saya, berkarya, melayani, berinteraksi, dan menunggu, yah... sedikit-sedikit mencari dan melihat-lihat... :D

 Ya, saya menunggu. Saya menunggu ada orang yang tepat yang datang di saat yang tepat, yang berkata pada saya,
"Aku bukan manusia sempurna. Namun aku masih memiliki mimpi. Aku tahu kamu juga begitu. Jadi bagaimana kalau kita berdua berjalan bersama? Dengan begitu kita bisa saling mengisi."
-amare-
terkadang dicari setengah mati, namun datang begitu saja ketika kita mulai lelah mencari

Dan saya tahu saatnya akan tiba ketika memang sudah saatnya. Bukan sekarang, tetapi saya yakin nanti...

Sunday, 22 April 2012

Suatu Malam yang Tidak Hanya Basah, Tapi Juga Kuyup

suatu malam
setelah tubuhku remuk
asaku dipatahkan
tercecer berserakan
sepanjang jalan
digodai hujan
titik-titiknya mencolek genit
coba mengusik
aku tak tertarik
aku remuk redam

tidakkah kau lihat?
aku kini tidak hanya basah,
tetapi juga kuyup?
air mataku atau air mataMu kah?
basahi sekujur tubuhku
tanganku atau tanganMu kah?
memelukku penuh, utuh.

pandang aku Bapa...
hadapi aku
mengetuk di pintuMu
tak mampu berpaling ke pintu lain
terpaku jadi hiasan
di halaman rumahMu

Friday, 20 April 2012

Berita Kamu Meninggal

pagi ini datang sebuah kabar
: kamu meninggal
aku mau datang.

kalau aku datang,
jasadmu ku tampar
aku tahu kamu pura-pura
pendusta!

coba aku bisa datang
kaki sudah hendak melangkah
meninggalkan kamar kosan
tangisku menyadarkan
aku masih punya kehidupan

diam kamu dalam tenang
tidak usah pedulikan apa kata orang
tidak perlu lagi merindukan terang

kamu meninggal
aku tidak bisa datang
marahkah kamu?
bagaimana kalau kamu saja yang datang?

kita berjanji di sini
cuma buat bilang selamat tinggal
entah selamat tinggal untuk apa
tapi kamu akan datang kan?
aku tunggu

Thursday, 19 April 2012

Cin(T)a

kamu suka bintang dan bulan sabit
aku memilih menggandrungi salib

kamu menggantungkan hiasan berbentuk ketupat
di pohon Natal ku gantung ornamen malaikat

kamu melafalkan bahasa Arab,
sementara lidahku lebih fasih melafalkan bahasa Latin

kamu bersujud
aku berlutut

kamu berseru, "Allahu akbar!"
aku menimpali dengan, "Halleluya!"

ketika ditampar kamu balas menampar
supaya orang itu tahu dia tidak boleh seenaknya menampar
sementara aku memberikan pipi satunya lagi untuk ditampar
supaya orang itu tahu segala sesuatu tidak harus dilakukan dengan kekerasan

ketika kita berdua,
ada saatnya kamu asyik memujaNya
sambil jemarimu menggulirkan tasbih satu per satu
aku terhanyut dalam butir-butir rosarioku
kita memujaNya bersama

tidakkah kamu pikir semua itu indah?
menurut kita indah, menurut mereka tidak

kenapa cara yang berbeda,
membuat kita tidak boleh saling jatuh cinta?

Wednesday, 18 April 2012

Pertemuan Pertama

meneguk langit senja yang manis
tak bosan-bosan
duduk di atas pagar tembok
lutut bergantung, terus mengayun
nakal tak mau diam
aku benar-benar tidak punya tujuan
menatapi semut menanjak berduyun-duyun

kemudian datang seorang manusia
berjenis kelamin laki-laki
bermata bulat dengan iris cokelat
buat aku ingin ditatap lebih lekat
tersenyum hangat
seolah senyumnya itu baru saja diangkat keluar,
dari oven besar Paman pembuat roti

laki-laki itu duduk di sebelahku,
kami bertukar cerita
menertawakan kehidupan
menangisi kebahagiaan
"Pernah ada yang bilang ke kamu kalau kamu itu nggak pernah sendirian?"
kamu orang pertama yang melakukannya
"Benarkah? Bodoh sekali mereka."

itu baru pertemuan pertama
siapa yang sangka setelah awal itu,
ada pertemuan-pertemuan selanjutnya?
aku senang bisa ditatap olehmu lebih lekat
menikmati senyummu yang legit
selegit langit jingga
lengket di hatiku

diawali dari pertemuan pertama,
siapa sangka mulut kita nakal bicara cinta?
sok sudah mengerti, merasa sudah menemukan
kenapa kita jadi manusia yang arogan?
sampai perbedaan cuma jadi slogan
kita seperti dua ekor merpati yang bertengger di sebuah dahan
ilusi waktu itu memang menghanyutkan

tadi itu adalah pertemuan pertama,
apa saat itu kita sudah tahu kalau kita akan saling jatuh cinta?
apa saat itu kita juga sudah tahu kalau kita akan jadi seperti sekarang?
tidak lagi bertukar cinta
tapi menyimpannya di tempat masing-masing
dibagi kepada yang lain
kita sudah tahu. kamu sudah tahu?

pertemuan pertama
terjadi bertahun-tahun yang lalu
seindah apapun, tetap saja
hampir seperti tidak pernah ada

Ngaku-Ngaku Bintang

menekan saklar
mematikan lampu kamar
tersisa cahaya tipis dari bintang tiruan
kata penjualnya, bintang itu bisa menyala dengan terang
catatan: asal dalam gelap
ini sudah gelap
gelap maksimal
cahayanya bohongan!
aku melempar bintang dengan guling dan bantal

kamu, kamu juga mengaku sebagai bintang
tidak main-main, kamu bilang kamu bintang paling terang
siap jadi terang cuma buat aku
yang lain biar menunggu dalam gelap di pinggiran
kamu pikir duniaku segelap itu?

kamu, ku akui sangat berani
mengaku sebagai bintang
yang punya cahaya sendiri
boleh tanya, apakah cahayanya asli?
jangan-jangan sama saja dengan bintang,
yang dijual toko-toko di pasar swalayan
tujuh ribu lima ratus lengkap dengan bulan
tak tahunya cuma bualan
cih!

Secangkir Kopi Kenanganmu

Mengingatmu itu ibarat minum kopi bagiku. Menenangkan, tetapi tidak boleh terlalu sering. Tidak baik jika berlebihan karena bisa mengganggu kesehatanku. Karena itu, sebisa mungkin aku batasi. Kalau bisa malah aku hindari sama sekali.

Tapi setiap kali, selalu ada saja saat-saat ketika aku tidak lagi mampu menahan diri, dan akhirnya memilih untuk menyerah. Kalau sudah begitu, aku akan membiarkan kenangan tentang kamu mengambil tempatnya dan berbuat sesukanya. Menyebalkan memang, tetapi terserah. Aku pasrah. Dengan catatan, sesekali saja. Tidak boleh terlalu sering.

Awalnya kita adalah dua orang asing. Dipertemukan melalui pertemuan yang random, dan kemudian kita sadar kita memiliki kesempatan untuk menjadi lebih daripada sekadar kenalan sambil lalu.

Sejak awal, kita memang berjalan di dua jalan yang berbeda. Kita menyikapinya dengan biasa, sayangnya orang lain tidak. Baiklah... Kita mengalah. Karena itu, kini kita berakhir menjadi dua orang yang sama-sama berusaha menjadi asing satu sama lain. Dan waktu membantu. Ia menyembuhkan kita sedikit demi sedikit.

Kini, tidak lagi menjadi masalah ketika kenangan tentang kamu mulai menyerangku. Silakan saja... Ia berhak mengambil tempatnya. Toh, kenangan itu pernah menjadi sesuatu yang mampu menjejakkan aku di dunia nyata, setelah sebelumnya aku seolah hidup dalam fantasi. Toh, kamu pernah ada dan aku tidak punya hak mengingkarinya bukan? Aku tidak mengerti ketika teman-temanku yang lain setengah mati bertanya kesana-kemari, "Gimana sih caranya ngelupain orang?". Jawabanku, kenapa harus>

Tapi itu dia... Tetap saja kenangan tentangmu itu ibarat kopi, dan mengingatnya ibarat meminumnya secangkir demi secangkir. Lama-kelamaan aku jadi tidak sadar sudah berapa cangkir yang aku minum. Rasanya menenangkan, tetapi tidak boleh terlalu sering. Bisa-bisa mengganggu keseimbangan hidupku, dan kemudian BUM! Meledakkanku pada satu titik...

Sekarang, setelah tulisan ini, ku pikir aku sedang berminat membiarkan diriku larut dalam sensasi yang dihadirkan oleh kenangan tentang kamu. Tidak perlu terlalu lama. Cukup sebentar saja menarik diri sedikit ke sudut lain duniaku. Duduk, membiarkan diriku larut, sambil ditemani secangkir kopi betulan. Untuk malam ini, cukup secangkir saja.

(diposting juga di ceritamu.com pada 31 Maret 2012)

First Time I Was Theft

Seumur hidup, saya belum pernah kecurian. Beberapa jam yang lalu, saya baru merasakannya untuk pertama kalinya sejak 19 tahun. Damn!

Parahnya lagi, yang dicuri bukan benda, tetapi karya saya. Yeah, beberapa jam yang lalu saya baru menemukan kalau tulisan yang saya posting di salah satu media dicopas oleh seseorang, tanpa mencantumkan sumber, dan hanya diganti judul. Bisa dibayangkan? Isinya benar-benar copas, dan dia hanya mengganti judul. Apa maksudnya....? Boleh diulang biar lebih dramatis? APA MAKSUDNYA...?

Well, saya juga nggak ngerti gimana jalan pikirannya pencuri. Yang pasti, saya sakit hati.

Di dunia maya, memang segalanya mungkin dan serba tidak terbatas. Saya tahu itu. Tapi tetap saja saya nggak rela. Selama ini saya selalu memperlakukan tulisan-tulisan saya sebagai semacam karya seni. Dan kalian tentunya tahu bahwa banyak seniman tidak suka jika karyanya diganggu orang. Saya juga begitu.

Saya tidak gila pujian. Saya tidak gila hormat. Saya tidak gila penghargaan. Bukan berarti saya marah karena saya ingin nama saya dipajang. Hanya saja, saya minta rasa menghargai. Itu karya saya, bukan karya dia. Setidaknya, si pencuri itu bisa bilang bahwa dia mengambil tulisan itu dari tulisan seseorang, dan bukan tulisan asli dia. Ini? Nihil.

Apa dia pikir mentang-mentang itu dunia maya terus semua hal jadi milik bersama?

Sekarang saya baru benar-benar bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Pak Raden saat ini.

Tulisan saya lebih dari sekadar rangkaian kata. Tulisan saya bukan komoditi dagang meski saya sering menggunakannya untuk mencari tambahan uang makan. Tulisan saya adalah seni dan ekspresi diri saya. Tulisan saya adalah saya.

Saya jadi mengerti kenapa banyak musisi malas berkarya gara-gara pembajakan. Saya benar-benar bisa merasakannya setelah ini. Kalau sebelumnya saya sering beli bajakan juga, sepertinya mulai saat ini saya akan lebih punya sedikit tenggang rasa.

"Kamu harus belajar ikhlas, Nak..."
Begitu kira-kira kata Tuhan. Iya, iya, Tuhan. Mungkin ini artinya Kamu mau saya naik tingkat lagi. Baiklah, saya sudah berhasil cukup ikhlas selama ini, tetapi sepertinya saya harus kembali belajar naik satu level lagi.

Baiklah, kamu yang punya nama aku curahanhati, selamat menikmati hasil curianmu, dan saya doakan semoga karya saya itu bisa membawa berkat bagi kamu.

Monday, 16 April 2012

Cinta Kamu Seperti Kopi

menjerang seteko air
guna menyeduh secangkir kopi
menunggu air bergolak hingga didih
mengawinkannya dengan bubuk kopi
instan saja
cinta kita juga instan

menambahkan sejumput gula
sejumput saja, jangan lebih
biar tetap pahit
sampai pahit cuma tinggal menyisakan rasa asam
asam di lidah
seasam cintamu yang bekasnya mengerak di hati
asem!

cinta kamu, seperti kopi
sanggup membuatku terjaga semalaman
meningkatkan konsentrasi
tapi konsentrasinya cuma sama kamu
sama sentuhanmu

cinta kamu sama saja dengan kopi
bikin aku sesekali nyandu
nggak bisa tanpa kamu
mau seteguk dan seteguk lagi
akhirnya nggak tahu sudah berapa cangkir habis

kamu itu yang bikin nyandu!
cintamu yang pekat sepekat kopi

sekarang juga aku nyandu
nyandu cinta kamu
tapi cintanya habis
nggak bisa diseduh lagi
percuma menjerang air
nggak ada gunanya
kamu nggak punya stok cinta lagi
terus aku harus nyeduh cintanya siapa?
cuma bakal berakhir jadi air rebus

jadi aku gimana?
ya sudah, aku seduh kopi lagi saja