Thursday 31 May 2012

When I Said Enough For You, For Us

Malam ini aku duduk menghadapi laptop, dan untuk kesekian kalinya mengingat pertemuan kita sore itu, awal bulan Maret lalu. Kita berdua duduk berhadapan hanya untuk menyepakati bahwa hubungan ini lebih baik diakhiri. Kita berdua memikirkan hal yang sama, dengan dasar alasan yang berbeda.

Kamu. Kamu bilang enam bulan ini aku jadi sangat dewasa. Itu hal yang bagus.... Masalahnya adalah kamu belum mampu mengimbanginya. Kamu merasa itu sebabnya kita semakin sering bertengkar dan saling diam. Entahlah, mungkin kamu ada benarnya. Dulu kamu dan aku tumbuh bersama, dan sekarang setelah terpisah jarak sekitar 160 km, kita tumbuh di jalan masing-masing dengan lama proses pencapaian yang pada akhirnya ternyata menjadikan semuanya berbeda.

Mungkin kamu benar. Aku berubah dan kamu tidak. Pada akhirnya kamu jadi menyesakkan. Imbasnya, aku dan kamu butuh ruang lebih luas. Butuh bernapas lebih lega. Aku sesak karena kamu, dan kamu disesaki olehku. Saling menyiksa. Ibaratkan sebuah rumah kecil yang awalnya dihuni oleh dua orang. Kemudian dua orang itu memiliki anak, dan juga mengajak saudara-saudaranya tinggal di rumah mereka. Lama-kelamaan, rumah yang tadinya dirasa cukup itu jadi terasa menyesakkan. Orangnya bertambah, luas rumahnya tidak. Seperti itulah aku dan kamu, menurutmu.

Untukku, entah kenapa setiap melihat kamu rasanya jadi berbeda. Bukan berarti tidak cinta, cinta... Tetap cinta. Hanya saja rasanya tidak lagi sama. Ketika aku melihat kamu, aku malah berpikir, "Benarkah ini saatnya aku berhenti? Kapan semua ini harus berakhir?" Jahat ya? Aku merasa jahat. Dan aku takut kalau diteruskan aku malah akan semakin bertambah jahat, dan bisa jadi melakukan hal yang lebih buruk pada kamu. Dan kamu tidak layak menerima semua itu...

Terlepas dari apapun sebenarnya masalahnya, aku senang kita bisa kembali baik-baik saja, sebagai teman. Awalnya rikuh memang, tapi lama-kelamaan aku terbiasa. Dan aku pikir mungkin ini keputusan tepat untuk saat ini.

Sekarang, inilah kita. Dua orang teman yang masih sering bertukar kabar dan saling melempar ejekan satu sama lain. Kamu yang masih sering mengeluh pusing gara-gara ujian, pamer karena sekarang main teater, ngejekin aku kambing, atau minta tolong dicarikan nama untuk peliharaan baru kamu. :D

Dan aku masih juga sama. Masih Hujan yang sama, yang kamu kenal bertahun-tahun lamanya. Yang dulu pernah kompakan pilek berdua sama kamu, yang pernah bantuin kamu nyari sendal waktu banjir, yang wangi shampoonya kamu suka, dan yang suka diajak debat sama kamu. Mungkin yang berbeda cara pikirku saja. 

Sekarang, malam ini, di depan laptopku, aku mengambil satu keputusan. Aku ingin mengemasi semua kenangan kita termasuk pertemuan kita tiga bulan lalu itu, dan memasukkan semuanya ke dalam satu kotak yang kemudian aku simpan jauh-jauh. Sudah cukup... Aku harus melanjutkan semuanya lagi. 

Tentang Kegelapan yang Sering Kali Didiskreditkan

Lagi suka nulis tentang kegelapan dan cahaya. Entah kenapa. Mungkin karena lagi ingat sama hubungan yang kekurangan cahaya? OK, enough with those silly stuffs.

Kembali ke topik yang sebenarnya, banyak orang yang aku kenal takut sama kegelapan. Sisanya, bukan takut tapi tidak suka. Jarang ada orang yang menyukai kegelapan. Mereka bilang kegelapan itu menakutkan, membuat kita merasa dibekap sepi, dan merasa sendiri. Banyak manusia benci merasa sendiri.

Aku, aku suka kegelapan. Tidak sejak kecil, waktu kecil aku takut kegelapan. Tapi entah sejak kapan aku jadi berbalik menyukainya. Mungkin kasusnya sama dengan menyukai seorang cowok yang sebelumnya setengah mati kamu benci dan kamu maki-maki. Yang jelas tiba-tiba saja pada suatu hari, aku melihat kegelapan itu indah sekali... Aku melihat seni dan suatu pengorbanan dalam kegelapan.

Kita tidak akan tahu terang tanpa adanya kegelapan. Kita tidak akan pernah menghargai cahaya jika kita tidak pernah merasakan kegelapan. Sama halnya dengan kamu tidak akan tahu bahwa es krim itu manis dan enak, kalau kamu belum pernah merasakan rasa pahit dari obat misalnya? Kira-kira seperti itu.

Waktu kecil aku selalu ingin jadi cahaya. Aku selalu berdoa, "Tuhan, jadikan aku cahaya..." Hingga suatu malam aku berpikir, tidakkah doaku ini kelewat egois? Bagaimana kalau Tuhan tidak mau aku jadi cahaya? Bagaimana kalau Tuhan punya kehendak lain?

Maka dari itu, aku mengubah doaku. Tidak lagi memaksa untuk dijadikan cahaya, tetapi menyerahkan semuanya kepada Dia. Aku berdoa, "Tuhan, aku mau jadi cahaya. Jadikanlah kalau memang itu kehendak-Mu. Kalaupun enggak, nggak pa-pa kalau kamu mau jadiin aku kegelapan. Jadilah... Jadikanlah aku kegelapan yang mampu membuat orang lain menghargai setiap cahaya yang dia miliki dalam hidupnya."

Sekarang ini, jujur saja, aku belum tahu apakah aku ini terang atau kegelapan.

Tuesday 29 May 2012

Sebuah Hubungan yang Kekurangan Cahaya

Dear Mr. Adorably Flat,
(sebuah refleksi tentang hubungan yang berakhir karena kekurangan cahaya)


Kenapa akhir-akhir ini lagu 'Adelaide Sky' selalu berhasil membuat aku ingat kamu dengan cara yang berbeda? Entah sedih atau membahagiakan, aku nggak juga bisa memilih satu di antara dua istilah itu. Boleh menyebutnya abu-abu saja? Meski belum lama ini kita berdebat karena kamu nggak suka warna abu-abu yang menurut kamu nggak jelas itu.

Yang pasti, akhir-akhir ini lagu 'Adelaide Sky' ada dimana-mana, di sekitarku. Di senandung fals temanku, gumaman tidak jelasnya, di materi tugas temanku yang lain, di link yang nggak sengaja aku temukan, di angkot dalam bentuk ringtone handphone seseorang, dimana-mana, dimana-mana, di hati aku. Kamu mau bikin apa sebenarnya? OK, bukan kamu mungkin, Tuhan. Tuhan mau bikin apa sebenarnya?

Tuhan mau aku dan kamu kembali jadi kita? Benarkah? Aku nggak yakin. Bisa jadi Tuhan cuma iseng saja. Tanpa pretensi tertentu. 

Kamu pernah bilang di dunia ini nggak ada yang namanya kegelapan, yang ada adalah kondisi ketiadaan cahaya. Kalimat yang juga ada di salah satu scence film bersejarah kita, 'Kambing Jantan', yang diambil dari salah satu tokoh favorit aku, Albert Einstein. Mungkin memang benar... Nggak ada yang namanya kegelapan, yang ada adalah kondisi ketiadaan cahaya. Sama seperti yang dipikirkan Radith di film itu, aku juga memikirkan hal yang sama.

"Tidak ada yang namanya kegelapan. Yang ada adalah ketiadaan cahaya."

Kalau pola pikir itu diterapkan untuk menganalisis hubungan kita, itu berarti hubungan kita bukan gelap, tetapi kekurangan cahaya. Iya kan? Jadi yang perlu kita lakukan sebenarnya bukan berpisah. Tapi cukup menekan saklar dan menambah cahayanya... Atau mungkin membuka jendela lebih lebar supaya cahaya bulan bisa masuk lebih banyak. Mungkin kita akan bisa melihat lebih banyak hal indah dalam hubungan kita.

Sesimple itu. Sesimple itu sebenarnya...

Sayangnya, aku nggak tahu dimana letak saklarnya atau bagaimana cara membuka jendelanya. Tidak, bukan cuma aku yang nggak tahu. Aku pikir kamu juga nggak tahu...

Saturday 26 May 2012

Ready&Dare To Love You Now

Ada terlalu banyak ruang kosong. Kosong karena ditinggalkan, atau karena memang tidak pernah diisi. Akhirnya, terbuang percuma. Teronggok sia-sia. Keberadaannya jadi tidak memiliki arti. Useless...

Aku pikir itu masalahnya. Aku merasa ada yang kosong, tanpa pernah tahu alasan sebenarnya kenapa aku merasa kosong. Sebenarnya, aku merasa kosong karena selama ini ruang tersebut memang aku biarkan kosong. Rasa takut, ragu, dan gengsi membuatku memilih membiarkan ruang itu tetap kosong dan menolak siapapun atau apapun yang berniat mengisinya.

Ketika ada sesuatu atau seseorang yang hadir dan ingin mengisinya, aku akan menarik diri, menghindar dan lari. Kurang-lebih seperti itu, seperti pengecut. Ya, aku menyebut diriku sendiri kurang berani. Aku ingin merasakan sesuatu tanpa pernah berani terjun langsung merasakan semua itu. Hanya duduk diam di pinggiran, menunggu kecipratan.

Aku takut. Aku takut mencintai ketika aku tahu aku harus kehilangan. Aku takut mencintai ketika aku sadar bahwa mau bagaimanapun tidak mungkin ada jalan. Seperti yang terjadi bertahun-tahun lalu. Aku takut mengakui pada diriku sendiri bahwa yang aku rasakan pada Lelaki Senja itu berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Aku takut mengakui bahwa aku sanggup berjuang mempertahankan kami sekalipun usiaku belum genap 16.

Yang ada di pikiranku saat itu adalah bahwa aku cuma gadis berusia 15 tahun, yang tidak bisa apa-apa. Aku terlalu pengecut untuk menuruti permintaannya dan mempertahankannya. Baiklah, itu sebuah kesalahan. Dan aku merasa kosong sekarang.

Tapi kini, aku sadar apa yang harus aku lakukan. Mungkin waktu memang tidak mungkin kembali, dan kesempatan nggak pernah datang dua kali. Tapi bukan berarti aku tidak bisa mendapatkan semuanya lagi? Bukan berarti aku tidak bisa merasa lengkap lagi. Sekarang ini, sedikit demi sedikit aku juga mulai merasa kembali 'lengkap'. Aku punya kehidupan yang menyenangkan yang tidak henti-hentinya aku syukuri, dan aku sedang belajar membuka diriku lebih luas lagi.

Aku tidak mau takut bertaruh lagi. Aku mau kembali bermain sekarang... Ingin terjun, bukan cuma menanti cipratan dari pinggiran. Aku mau jatuh cinta, berani dicinta, dan merasa hidup. Dan aku menikmatinya...

Seperti ketika saat aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan kamu, mengobrol dan sedikit-sedikit bercanda, seperti apapun bentuk interaksi di antara kita, begitu aku nikmati. Bisa melihatmu dalam satu hari, dan berpikir betapa miripnya kita satu sama lain, aku menikmatinya... Meski aku sendiri nggak tahu akan kemana semua ini berujung, dan aku masih saja merasa kita tidak punya jalan. Tapi aku memberanikan diri mengakui, dan tidak mau berbohong pada diriku sendiri. Aku mengagumi kamu, mata dan senyummu, pribadimu, pemikiran-pemikiranmu, caramu memandang sesuatu, mimpi-mimpimu dan caramu menceritakannya, termasuk segala hal dalam hidupmu.

Terima kasih karena telah membuatku terbangun dan berani jujur...

Friday 18 May 2012

Terlalu Banyak Berpikir

Aku tahu aku terlalu banyak berpikir. Setidaknya, orang-orang di sekitarku bilang begitu. Mereka sering bilang, "Ayolah... Berhentilah berpikir. Berhentilah memikirkan hal-hal yang nggak ada hubungannya sama kamu." Rata-rata bilang seperti itu.

Aku sendiri tidak merasa aku terus-menerus berpikir. Atau, tanpa sadar aku memang seperti itu? Ini mungkin seperti apa yang disebutkan dalam Johari's Window. Ruang yang orang lain lihat, tetapi tidak aku lihat. Mungkin kurang-lebih seperti itu. 

Baiklah, anggap saja jika memang aku ini terlalu banyak berpikir. Termasuk untuk urusan mencari pacar. Kalau begitu apa salah? Apa aku tidak boleh berpikir? Memikirkan hal ini, aku jadi merasa bahwa jika memang benar seperti itu, maka aku butuh orang yang mampu membuatku berhenti berpikir. Mampu membuatku memutuskan berhenti pada dia.

Lalu, apakah itu kamu? Entahlah. Sejauh ini kamu belum membuatku merasa seperti itu.

Saturday 12 May 2012

Akhir Dari Harapan Singkat


Aku bukan orang yang pandai menyimpan rahasia. Ini kekuranganku sejak kecil dulu. Lebih-lebih lagi tentang perasaanku. Mama bilang, emosiku selalu tergambar jelas dari mata dan air mukaku. 

Aku mengagumi kamu. Mungkin kamu dan beberapa orang lainnya tahu itu. 

Aku mengagumi kamu. Sampai aku tahu kalau kamu masih mengharapkan seseorang itu. Sekarang aku tahu itu sebabnya kenapa aku dan kamu tidak berlanjut. Tidak ada impression-impression yang berikut. Dan saat aku tahu, aku sadar aku dipijakkan pada kenyataan. Dan kali ini, rasanya cukup sakit. Sedikit...

Tapi di sisi lain, aku juga senang. Senang melihat kamu masih begitu memiliki kepercayaan dan optimis bahwa suatu hari nanti, orang itu bisa mencintai kamu. Aku senang ketika membaca barisan kalimat itu. Ada doa yang tulus terselip di senyumku. Sungguh... Aku harap Tuhan mendengar doa kamu dan penantian kamu itu berbuah baik.

Mungkin orang akan berpikir, lalu aku bagaimana? Yah, pergi... Berpijak pada apa yang nyata dan mengambil jarak dari kamu. Melihat kamu dari jauh, mendoakan kamu, mengalir bersama waktu, membiarkan rasa kagum ini, berharap kamu dapat yang terbaik.

Satu hal yang aku pelajari saat ini, aku harus belajar diam. Mengagumi dalam diam, berdoa dalam diam, menjalani waktu dengan diam. Aku harus belajar diam... Karena terkadang diam lebih menguntungkan bagi semuanya...

Jadi, ini akhir. Setelah ini, aku memilih diam. Bagaimanapun kamu, aku akan tetap diam. Bukan menunggu, tapi membiarkan... Semua ini mungkin memang cuma karena itu bukan kamu, atau aku yang datang di waktu yang salah. Semua ini membuatku memilih berpuasa membagi rahasia.

Jadi, Kafe, semangatlah untuk terus berharap, dan terima kasih... Terima kasih sudah ada meski singkat. 

Thursday 10 May 2012

All I Have to Do Now

Yang harus saya lakukan sekarang adalah menjejakkan kaki saya kembali pada kenyataan. Berhenti memabukkan diri dalam balon-balon ilusi dan menjadi diri saya sendiri.

Bukan saya tidak mau berharap, tetapi saya lelah berharap sendirian. Mungkin cuma saya yang mengharapkan ada pertemuan selanjutnya. Mungkin cuma saya yang berharap kita bisa saling mengenal lebih dalam. Yang saya baca, kamu menjadikan semua ini menjadi komedi. Kenapa kamu jadi terasa sangat jauh?

Kalau kamu mau, kamu tinggal datang dan berdiri di hadapanku. Kita mengobrol tentang apa saja, saling menceritakan tentang masing-masing. Sesimple itu sebenarnya... 

Sekarang semua terserah kamu. 

I Change The Way I Pray

Sejak kecil, saya suka berdoa. Hobi saya, ngobrol dengan Tuhan.

Saya masih ingat kalau orang pertama yang memperkenalkan saya pada doa dan mengajarkan saya untuk berdoa adalah Mama saya. Di usia saya saat itu, saya diajarkan untuk duduk yang manis, mengatupkan kedua tangan saya, menekuk dan kemudian mendekatkannya ke dada, dan setelah itu memejamkan mata. Berdoa. Begitu konsep berdoa bagi saya sejak dulu.

Tapi beberapa hari ini, saya mengubah cara saya berdoa, terutama sebelum makan. Tidak lagi menutup mata, tetapi justru membukanya dan menatap makanan di hadapan saya. Berterima kasih pada seluruh bahan-bahan makanan di hadapan saya yang sudah rela mengorbankan dirinya untuk menjadi sumber energi bagi tubuh saya. Dan berterima kasih kepada cinta terbesar saya, Bapa di Surga, atas berkat yang boleh saya nikmati ini.

Begitulah cara saya mensyukuri nikmat dalam hidup saya saat ini. Kalau kamu, bagaimana cara kamu mensyukuri nikmat kamu? 

Tuesday 8 May 2012

Sarang Saya Sekarang Ini





Tirai warna pink dan ungu, seprei warna pink, wall of art bikinan sendiri yang sayangnya belum sempat dipenuhin, dan tumpukan buku yang secara ga sadar hampir nyampai angka 100 dalam 8 bulan ini. Parah! Perlu pikir-pikir nyari tempat nyimpen buku baru. Haha...

Tapi semua itulah yang bikin saya betah dan ngerasa pulang. Bisa istirahat, tempat saya nulis, baca, dan memikirkan kamu... :)

Monday 7 May 2012

Upik Abu & Pangeran Kodok

suatu sore waktu kita 
saling melepaskan pegangan
kamu dan aku
duduk berhadapan
tidak lagi bersisian
kenapa rasanya jadi sulit
bersentuhan?
padahal dulu kita suka
bertukar kecupan
kisah ini seperti pesta 
pestanya Cinderella
berakhir saat
jarum panjang dan pendek
bertemu di angka dua belas
dua belas malam
angka dua belas kita 
sudah sampai
harus berbalik dan pergi
tidak ada dansa lagi
sepatu kaca sudah pecah
tidak ada keajaiban ibu peri
aku jadi Upik Abu kembali
lalu kamu,
kamu jadi apa?
sudahlah, Pangeran Kodok saja
melompat-lompat bodoh
mengorek-ngorek
mendambakan lu se te fu ping

Sunday 6 May 2012

Damn! He's Cute

Damn! He's cute. Tambah lagi satu, adorable menurut saya.

Tubuhnya yang gempal berisi, matanya yang sipit, cambangnya yang seksi, bikin saya jatuh hati. Semudah itukah? Nggak tahu. Saya nggak bilang saya cinta... Wong belum kenal kok. Belum tahu orangnya kayak apa. Tapi first impressionnya, mengesankan. Coba bisa ada second, third, dan impression-impression lainnya. Saya ngerasa saya tertarik buat mengenal cowok satu ini lebih dalam, nggak tahu kenapa. Bukan karena dia ganteng, bukan karena dia cute, bukan karena dia lucu. Sungguh, saya nggak tahu. 

Coba bisa ketemu lagi. Ah,  I think I wish.

GR-an

Saya itu GR-an. Iya, saya tahu, buruk. Tapi saya cuma GR-an sama orang yang membuat saya tertarik. Itu lebih buruk. Iya kalau orangnya juga tertarik sama saya, kalau enggak?

Saya suka ngeliat kamu tadi malam. Aura kamu mengenakkan, seperti ice cream vanilla. Manis, dingin, membuat saya tersenyum. Saya tertarik sama mata kamu. Sore tadi, sebelum kita bertemu, saya lihat senja tinggal sepotong. Ada yang mengeratnya hingga separuhnya hilang. Kemana? Saya bertanya-tanya. Setelah bertemu kamu, melihat mata kamu, saya dapat jawabannya. Di situ, di mata kamu yang bisa dibilang sipit menurutku. Saya pikir saya tertarik sama kamu...

Dan saya kira kamu juga tertarik sama saya. Saya kira pertemuan malam itu akan berlanjut. Mungkin dengan kamu menanyakan nomor handphone saya, atau saya menemukan bahwa kamu memfolback saya pagi ini. Ah, ternyata tidak satupun. Sedih. Tapi ya sudah... Saya tetap bersyukur sudah bertemu makhluk seindah kamu. Saya berterima kasih sama Tuhan karena Dia sudah menciptakan makhluk seindah kamu untuk saya kagumi. Em, mungkinkah ada pertemuan kedua setelah ini?

Saturday 5 May 2012

Terus-Terusan Ditanya Kriteria

Banyak yang nggak berhenti nanya kriteria cowok yang saya cari itu seperti apa. Mereka bilang, biar bisa dicarikan. Memangnya tas, baju, atau sepatu? Sepertinya pada gerah kalau saya ini memasang status 'single'. Bawaannya pada pengen nyariin. 

Saya ulangi sekali lagi ya, kriteria saya itu sebenarnya hanya harus memenuhi tiga aspek. Logika, moral, dan estetika. That's it. #Pengantar Ilmu Filsafat banget

Tapi untuk kesekian kalinya juga saya tekankan, seperti apa ukuran orang yang saya anggap mampu memenuhi ketiga aspek itu, standarnya cuma saya yang tahu, bukan pakai standar publik. Bisa jadi ketika menurut kalian dia memenuhi, menurut saya tidak. Bisa jadi kalau menurut kalian dia tidak memenuhi, bagi saya justru dialah orangnya. Everything's possible right?

Saya tidak pernah menutup kesempatan kok. Silakan jika ada yang mau mendekati... Silakan tunjukkan, jadi teman saya, kita ngobrol, kita bercanda, kita dekat, dan kita lihat, apakah kita cocok atau enggak. Tunjukkan saja apa yang kamu punya, dan saya juga akan menunjukkan diri saya apa adanya. Biar nanti kita sama-sama menilai dan pada akhirnya memutuskan apakah kita cocok untuk lanjut atau enggak. Simple kan?

Jadi kalau kalian mau nanya kriteria saya, untuk kesekian kalinya saya bilang, kriteria saya itu absolut sekaligus relatif. Absolut harus memenuhi ketiga unsur itu, tetapi relatif penilaiannya apakah orang tersebut memenuhi ketiga unsur tersebut atau tidak. Relatif tergantung pada saya, saya yang memutuskan.

Jadi, ada yang masih mau nanya kriteria saya lagi? #bosanditanya

Wednesday 2 May 2012

Saya Ini Marmut Merah Jambu*



Perkenalkan. Saya ini Marmut Merah Jambu. Marmut Merah Jambu yang berlari dari satu lingkaran relationship ke lingkaran relationship lainnya, tanpa pernah beranjak kemana-mana. Stagnan sebenarnya, pergerakan yang semu. Berpindah dari satu hubungan ke hubungan lain, tanpa pernah tahu kapan harus berhenti. Sia-sia... Kenapa harus merah jambu? Suka saja, tidak ada alasan khusus. Menyukai sesuatu tidak selalu butuh alasan bukan?

Saya sebenarnya tidak terlalu banyak berpacaran. Hanya saja, masing-masing dari mereka itu unik. Ada yang memacari saya saat pemahaman saya soal cinta masih berada dalam taraf unyu-unyu. Maksudnya, deg-degan, pegangan tangan, nembak, jadian. Ritual-ritual semacam itu... Ada beberapa di antaranya yang memacari saya ketika pemahaman saya mengenai cinta sudah sedikit beranjak dari garis unyu-unyu tadi. Ketika cinta dan pacaran bukan cuma berarti makan malam, nonton film, gandengan tangan, dan ingat tanggal jadian.

Laki-laki pertama saya seorang breaker. Ini dia yang memacari saya ketika saya masih unyu-unyu tadi. Teman-teman saya bilang dia keren, apalagi kalau sudah memperagakan gerakan-gerakan ekstremnya. Saya sendiri cuma bisa ketawa kalau ingat bahwa dia 'nembak' saya ketika sedang melakukan headstand (kayak lagu Peterpan, kaki di kepala, kepala di kaki).

Selanjutnya pernah ada vokalis band sekolah tetangga, anak mami yang dulu pernah saya buat nangis ketika kami masih kelas 1 SD, seorang lelaki sederhana yang amat menggemari senja, seorang playboy yang cuma bertahan dalam hitungan hari, dan cowok random dan galau yang baru saja merayakan perpisahan bersama saya beberapa bulan lalu.

Mereka semua adalah bagian dari proses belajar saya. Proses pemahaman saya akan arti sebuah hubungan, dan betapa berharganya diri serta hati saya. Semua menghadirkan kenangan yang patut saya simpan. Tanpa pernah bersentuhan dengan hidup mereka, saya mungkin tidak akan menjelma menjadi orang yang begitu menghargai komitmen seperti sekarang. Tanpa kehadiran mereka, saya tidak akan merasa lelah dengan sebuah konsep pencarian dan keputusan yang sia-sia seperti saat ini. Saya mungkin akan terus dan terus berlari dari satu lingkaran relationship ke lingkaran relationship lain tanpa pernah belajar.

Terakhir kali, di awal bulan Maret, suatu sore ketika saya duduk menghadapi Mr. Adorably Flat (si cowok random dan galau) di sebuah kafe sambil menikmati kopi dan merayakan perpisahan kami, saya berpikir, "Saya jenuh. Untuk apa semua ini?"

Saya melihat pantulan diri saya di bola mata Mr. Adorably Flat. Saya tampak jenuh dan lelah... Saya sadar saya lelah berlari. Saya lelah memulai sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar saya yakini hingga kemudian harus diakhiri. Saya jenuh saling menyakiti. Saya jenuh bertukar ucapan selamat pagi yang lama-lama terdengar semakin basi. Saya sadar saya tidak butuh pacar hanya untuk sekadar mendapatkan ucapan selamat malam, selamat pagi, atau selamat menjalani hari. Jadi untuk apa semua hubungan sampah ini?

Saya ingin berhenti. Ya, di umur saya yang baru menginjak 19 tahun dua puluh tujuh hari yang lalu, saya sudah merasa saya ingin berhenti. Tidak ingin lagi berlari berpindah dari satu lingkaran relationship ke lingkaran yang lain. Saya cuma ingin satu, yang paling nyaman dan memenuhi, kemudian berhenti. Dan saya tahu saya akan tahu ketika saya sudah bertemu.

Saya ingin berhenti. Dan gara-gara perasaan ini, setiap kali saya melihat kamu, saya berpikir, "Inikah saatnya saya berhenti?"

Hati saya diam. Entah memang tidak tahu jawabannya, atau memang takut untuk mengungkapkan. Takut untuk melukai terlalu awal... Menyebalkan! Padahal apa bedanya terluka kini atau sekarang?

Jujur, saya bosan jadi marmut merah jambu yang berlari dan berputar, terperangkap dalam gerakan yang stagnan. Boleh saya jadi marmut merah jambu yang berhibernasi? Menunggu saat yang tepat dan lingkaran yang tepat untuk kembali berlari.


*terinspirasi dari novel Raditya Dika-Marmut Merah Jambu

Suatu Malam di Pinggir Jalan

berdiri berdampingan
bertukar kata
di pinggir jalan

sorot lampu kendaraan
memandikan kita
kenapa harus di pinggir jalan?

gratis.

aku mabuk
mabuk menenggak pesona
jadinya ingin tertawa
tertawa saja. terus tertawa
cuma tertawa
HAHAHA...
terdengar sumbangkah?
aku memang penyanyi yang buruk
tertawa saja buruk
biarlah

kita bertukar kata
tentang apa saja
aku harap kataku tidak sumbang
aku harap maknanya tidak menyimpang
sebab:
saat bertukar kata aku tidak sepenuhnya konsen
mengagumi kamu, berpikir
bagaimana bisa ada perpaduan semacam kamu?

berdiri berdampingan
bertukar kata
di pinggir jalan
sekian lama aku berpikir
berapa lama kita akan terus bersisian?

Tuesday 1 May 2012

Nggak Bisa Pacaran Main-Main

"Kita mah masih muda. Ngapain serius-seriusan? Sekarang mah cari aja dulu yang buat seneng-senengan."
Itu yang dikatakan oleh dua orang teman saya sore tadi.

Ketika mendengar itu, saya berpikir kenapa saya tidak bisa berpikir seperti mereka? Padahal saya sama mudanya dengan mereka. Ah..., apa saya ini terlalu serius menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan pacaran? Tapi apa terlalu serius menanggapinya itu juga salah?

Konsep saya, pacaran itu ya memang untuk serius, targetnya bisa menjadi yang terakhir. Itu kenapa saya belum punya pacar sampai sekarang. Kalau orang-orang nanya, ya saya jawab karena saya mencari orang yang tepat. Kalau ditanya yang tepat itu yang seperti apa, saat ini akan jawab saya belum tahu. Sebut saja, saya akan tahu ketika saya sudah menemukannya.

Bisa jadi orang itu belum saya kenal sekarang. Bisa jadi juga sudah, hanya saja belum saya sadari. Saya tidak bisa mendeskripsikan kriteria orang yang tepat itu. 



Dan mau dipikirkan seperti apa pun, saya tidak bisa mengubah konsep pacaran saya. Saya tidak bisa pacaran dengan siapapun hanya untuk mendapatkan perhatian spesial, ucapan selamat pagi, selamat malam, atau selamat berjuang. Saya ya saya, dengan konsep saya. Dengan hati saya yang sering dibilang sudah beku. Bukan dingin lagi, tetapi beku. Mungkin benar, hati saya ini beku. Tapi bukan berarti tidak bisa dicairkan lagi bukan?

Kalau ditanya mau pacaran atau tidak, saya jawab mau. Siapa sih yang tidak mau? Saya masih mau pacaran, belum mau untuk nikah. Tapi saya tidak mau sembarangan memutuskan untuk pacaran, hingga akhirnya saya menyesal ketika hubungan itu berakhir. Buat apa? Dalam hemat saya, yang seperti itu justru membuang waktu dan energi. Apa bedanya pacaran dengan sahabat kalau begitu?

Tuan Tampan Bertopi Tinggi














pagi ini aku didatangi Tuan tampan bertopi tinggi
bersetelan rapi, lengkap dengan dasi
wajah bersih, sedikit jambang dipelihara di sisi
aku nyaris memutuskan untuk jatuh hati

kalau saja...

dia datang tidak mengambil mimpi
mengambil semua, lantas begitu saja pergi
enak sekali
tidak menyisakan barang setitik. habis.

tidak tahukah dianya kalau tanpa mimpi,
aku mati?

Tuan tampan bertopi tinggi
bersetelan rapi, lengkap dengan dasi
apa yang kamu butuhkan dari sebuah mimpi?
sebandingkan dengan meninggalkan seorang gadis mati di sini?

kalau bumi berduka dan waktu terhenti,
semua itu salahmu! salahmu, ya salahmu!
meninggalkan gadis mati seorang diri. tanpa mimpi

tik-tok-tik
waktu yang ditinggalkan Tuan tampan bertopi tinggi
bergulir dingin sekali
apakah tubuhku sedang membekukan diri? karena tak lagi punya mimpi?