Wednesday 2 May 2012

Saya Ini Marmut Merah Jambu*



Perkenalkan. Saya ini Marmut Merah Jambu. Marmut Merah Jambu yang berlari dari satu lingkaran relationship ke lingkaran relationship lainnya, tanpa pernah beranjak kemana-mana. Stagnan sebenarnya, pergerakan yang semu. Berpindah dari satu hubungan ke hubungan lain, tanpa pernah tahu kapan harus berhenti. Sia-sia... Kenapa harus merah jambu? Suka saja, tidak ada alasan khusus. Menyukai sesuatu tidak selalu butuh alasan bukan?

Saya sebenarnya tidak terlalu banyak berpacaran. Hanya saja, masing-masing dari mereka itu unik. Ada yang memacari saya saat pemahaman saya soal cinta masih berada dalam taraf unyu-unyu. Maksudnya, deg-degan, pegangan tangan, nembak, jadian. Ritual-ritual semacam itu... Ada beberapa di antaranya yang memacari saya ketika pemahaman saya mengenai cinta sudah sedikit beranjak dari garis unyu-unyu tadi. Ketika cinta dan pacaran bukan cuma berarti makan malam, nonton film, gandengan tangan, dan ingat tanggal jadian.

Laki-laki pertama saya seorang breaker. Ini dia yang memacari saya ketika saya masih unyu-unyu tadi. Teman-teman saya bilang dia keren, apalagi kalau sudah memperagakan gerakan-gerakan ekstremnya. Saya sendiri cuma bisa ketawa kalau ingat bahwa dia 'nembak' saya ketika sedang melakukan headstand (kayak lagu Peterpan, kaki di kepala, kepala di kaki).

Selanjutnya pernah ada vokalis band sekolah tetangga, anak mami yang dulu pernah saya buat nangis ketika kami masih kelas 1 SD, seorang lelaki sederhana yang amat menggemari senja, seorang playboy yang cuma bertahan dalam hitungan hari, dan cowok random dan galau yang baru saja merayakan perpisahan bersama saya beberapa bulan lalu.

Mereka semua adalah bagian dari proses belajar saya. Proses pemahaman saya akan arti sebuah hubungan, dan betapa berharganya diri serta hati saya. Semua menghadirkan kenangan yang patut saya simpan. Tanpa pernah bersentuhan dengan hidup mereka, saya mungkin tidak akan menjelma menjadi orang yang begitu menghargai komitmen seperti sekarang. Tanpa kehadiran mereka, saya tidak akan merasa lelah dengan sebuah konsep pencarian dan keputusan yang sia-sia seperti saat ini. Saya mungkin akan terus dan terus berlari dari satu lingkaran relationship ke lingkaran relationship lain tanpa pernah belajar.

Terakhir kali, di awal bulan Maret, suatu sore ketika saya duduk menghadapi Mr. Adorably Flat (si cowok random dan galau) di sebuah kafe sambil menikmati kopi dan merayakan perpisahan kami, saya berpikir, "Saya jenuh. Untuk apa semua ini?"

Saya melihat pantulan diri saya di bola mata Mr. Adorably Flat. Saya tampak jenuh dan lelah... Saya sadar saya lelah berlari. Saya lelah memulai sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar saya yakini hingga kemudian harus diakhiri. Saya jenuh saling menyakiti. Saya jenuh bertukar ucapan selamat pagi yang lama-lama terdengar semakin basi. Saya sadar saya tidak butuh pacar hanya untuk sekadar mendapatkan ucapan selamat malam, selamat pagi, atau selamat menjalani hari. Jadi untuk apa semua hubungan sampah ini?

Saya ingin berhenti. Ya, di umur saya yang baru menginjak 19 tahun dua puluh tujuh hari yang lalu, saya sudah merasa saya ingin berhenti. Tidak ingin lagi berlari berpindah dari satu lingkaran relationship ke lingkaran yang lain. Saya cuma ingin satu, yang paling nyaman dan memenuhi, kemudian berhenti. Dan saya tahu saya akan tahu ketika saya sudah bertemu.

Saya ingin berhenti. Dan gara-gara perasaan ini, setiap kali saya melihat kamu, saya berpikir, "Inikah saatnya saya berhenti?"

Hati saya diam. Entah memang tidak tahu jawabannya, atau memang takut untuk mengungkapkan. Takut untuk melukai terlalu awal... Menyebalkan! Padahal apa bedanya terluka kini atau sekarang?

Jujur, saya bosan jadi marmut merah jambu yang berlari dan berputar, terperangkap dalam gerakan yang stagnan. Boleh saya jadi marmut merah jambu yang berhibernasi? Menunggu saat yang tepat dan lingkaran yang tepat untuk kembali berlari.


*terinspirasi dari novel Raditya Dika-Marmut Merah Jambu

No comments:

Post a Comment