Bosan mencintai kamu
Kamu yang sangat mencintai senja
Maka dari itu kusebut Lelaki Senja
Karena kamu berasal dari sana
Kamu yang setia berdiri dekat jendela
Mereguk manisnya jingga
Seperti sirup dengan gula asli yang tidak akan membuat batuk
Karena itu tidak perlu takut
Karena itu kamu suka banyak-banyak mereguk senja
Seolah dahaga itu tak pernah terpuaskan, tak pernah kembung
Yang setelah itu akan kamu abadikan melalui goresan
Tinta hitam, warna favoritmu, di atas selembar kertas putih
Selembar untuk satu senja
Satu senja untuk satu sajak
Berlembar-lembar, untuk kau berikan pada siapa?
Mata bulatmu
Hidung mancungmu
Pipi chubbymu
Bahu kokohmu
Punggung yang sering ku sandari
Caramu berjalan
Caramu menyeduh kopi,
termasuk dengan racikan kesukaanmu
Caramu membalik setiap lebar halaman buku yang kau baca
Dan menandari halaman yang kau anggap penting
Untuk kau pindahkan ke dalam sebuah buku catatan
Kau tulis ulang, penuh kesabaran
Caramu berdeham ketika mencoba mencari perhatianku
Menyentuhku dengan hati-hati
Dan meletakkan kepalaku di bahumu
Berkata bahwa semua akan baik-baik saja
Dengan cara yang cuma kamu yang bisa
Belum ada lagi
Aku bosan mencintainya...
Bosan mencintai semua itu,
Bosan mencintai kamu
Tapi sampai sekarang masih saja
Tak mampu berhenti
Berpaling pun sulit
Saturday, 7 July 2012
Bosan Mencintai Kamu
Setelah Semua Kebosanan, Masih Juga Mencintai Kamu
Bagaimana membuat kamu mengerti?
Sentuhan jari tidak berfungsi
Ujung bertemu ujung,
Tak ada yang mengalir
Tak ada rasa berpindah
Hangat tubuh pun tidak
Bagaimana membuat kamu mengerti?
Senja berselimut tidak ada lagi
Jingga lebur, seperti es krim cair
Kepak sayap pulang kini terdengar sumbang
Dekap hangatmu membekukan
Aku malah berharap malam cepat datang
Bagaimana membuat kamu mengerti?
Aku lelah menghabiskan satu senja bersama kamu lagi
Bersama usangnya kamu...
Dan jenuhnya aku mencintai kamu
Bagaimana membuat kamu mengerti?
Di atas kebosanan ini,
Setelah semua ini,
Masih saja
Aku mencintaimu
Terpancang kuat di hatiku
Thursday, 5 July 2012
Memori yang Membias
Menulis ini, ditemani suara Landon Pigg dengan lagu Falling In Love At A Coffee Shop, dan secangkir teh hangat. Ingat Papa, ingat kamu. Ingat kalian berdua...
Kesamaan kalian berdua adalah sama-sama punya tempat spesial, dan sama-sama sudah pergi. Kamu pergi jauh, ke kota lain, membangun keluarga kecilmu sendiri. Papa, Papa pergi lebih jauh lagi dari kamu. Pindah dunia, pindah alam. Dan sekarang, aku kangen kalian berdua...
Sudah bertahun-tahun. Jujur, semakin lama aku merasa kalian semakin kabur. Aku jahat ya? Tapi itulah yang terjadi pada memori. Semakin lama, memori tentang kalian tidak lagi sejelas seperti tiga tahun yang lalu, atau dua tahun yang lalu misalnya. Kenangan tentang kalian semakin usang. Semuanya jadi bias...
Aku takut. Kadang aku berpikir kalian berdua cuma mimpi, atau aku mengidap schizophrenia. Mungkin kalian sebenarnya tidak pernah ada, dan rasa sakit serta kehilangan ini, lubang yang kalian tinggalkan di hatiku, semuanya cuma karanganku sendiri. Imajinasi yang menipu dan bukan kenyataan. Tapi sebenarnya apa itu kenyataan? Apa itu nyata? Bisa jadi sekarang ini yang mimpi. Mungkin sebenarnya kalian masih ada, dan hidupku masih baik-baik saja, sempurna. Tapi entahlah, apa lagi itu sempurna?
Aku cinta kamu sampai saat ini. Aku sayang Papa sampai detik ini. Tapi dari kalian, mengenai kalian, semua yang aku punya sekarang cuma foto, tulisan, buku peninggalan, dan sedikit kenangan. Kenangan tentang suara kalian, hangat tubuh kalian, gelak tawa, aroma tubuh, aku berpikir semua ini sisa dari apa yang dulu pernah disebut kenyataan, atau justru cuma komponen dari imajinasi liarku?
Kini nyata dan mimpi jadi bias bagiku...
Apakah aku mulai melupakan kalian? Kalau iya, aku merasa jahat. Tapi untuk terus merindukan pun, aku tidak mengerti apa fungsinya. Aku rindukan sampai aku mati pun, Papa dan kamu akan tetap ada di tempat baru kalian masing-masing. Kita semua terikat dengan ikatan yang berbeda, dan sayangnya ikatan kita tidak lagi bertemu, dan dengan kamu pun, mungkin tidak pernah akan lagi. Jadi jahatkah kalau semua ini, tentang kalian ini, semakin lama jadi semakin kabur, dan terasa semakin tipis membayang? Tidak lagi sejelas dulu.
Mungkin memori tentang kalian mulai habis dibasuh hujan...
Sunday, 1 July 2012
I'm Just Feel Beautiful
When I have enough appeal to eat as much as usual, and get enough courage and will to take care of my body and sure my life too, it makes me feel beautiful...
Like a beautiful swan.
Don't need any childhood magic, magic stick, mother fairy, glass shoes, or a handsome prince,
it's just all about me, enjoying my time, an enjoying me...
:*
Here're some photograph. Being narcisstic, hell yeah! XD
Then what are you usually do to feel beautiful?
For me, above all beauty treatment, meditation, having some good times, enough rest, chocolate, spending time with people I love, walking downtown alone, standing and dancing under the rain, getting wet and sexy, everything about feeling beautiful is still about pray, and give thanks for all I have in my life. For all His grace, and sharing with others, working for His glory name.
I feel like I'm His most beautiful child...
Monday, 25 June 2012
Take A Rest for A While
Bagiku ada dua tipe manusia. Yang membiarkan hidupnya mengalir, dan yang menentang arus. Istilah kesukaanku, anti mainstream. Aku adalah tipe manusia yang kedua. Yang nggak mau menerima konsep dan struktur yang sudah ada begitu saja. Freak... Yeah, it's me. A holly nerd.
But I'm happy, I'm proud... I'm proud to be me.
Meski begitu, ada saatnya aku lelah. Seperti sekarang... Lelah mempertanyakan, jenuh mendengarkan, bosan bicara, sedang tak bernafsu membongkar. Saat ini, aku hanya ingin diam. Sedang ingin diam, tidak berpikir, tidak menentang, tidak bertanya. Sekalipun menurut mereka itu sangat bukan aku...
Banyak orang suka mendengarkan orang bicara, tetapi jarang yang mau dan mampu menemani seseorang diam. Diam itu katanya terlalu membosankan.
Saat ini, aku hanya ingin menyimpan semua rasa penasaranku, kekhawatiranku, kata-kataku, teori-teoriku, standarku, jawaban-jawabanku, dan aku cuma mau diam. Beristirahat menjadi manusia tipe kedua. Sesekali, aku ingin sebentar saja merasakan bagaimana rasanya menjadi manusia tipe pertama.
Jadi kalau kamu tanya sekarang aku maunya apa, fokusnya apa, sebenarnya aku mau jawab, "Memang sedang tidak ingin apa-apa, dan tidak ingin fokus pada apa-apa..." Sebentar saja, dan setelah itu aku siap kembali menjadi orang yang kamu kenal sebelumnya.
Mohon, Tatap Aku...
Ketika aku melangkah lebih dulu, mendahuluimu, aku harap kamu menatap punggungku. Punggungku yang menjauh, aku ingin kau tatap lekat. Tidak perlu kau panggil, tidak perlu kau tahan aku, cukup tatap punggungku yang menjauh. Itu sudah cukup. Karena itu artinya kamu belum mau aku jauh. Kamu masih mau aku. Adakah kamu begitu?
Ah, sial! Bagaimana caranya aku tahu apakah kamu menatap punggungku atau tidak? Terlalu riskan untuk berbalik. Kamu bisa saja cepat-cepat mengalihkan perhatianmu pada yang lain, berpura-pura tidak ada apa-apa. OK, aku GR. Ah, menyebalkan!
Andai aku punya mata di punggungku...
Mengharapkan Hujan Sore Ini
Aku harap hujan datang sore ini. Kenapa? Simple saja... Aku ingin istirahat dengan tenang. Istirahat dari rutinitas, dari balon-balon mimpiku, dari kamu.
Kamu melelahkan. Menggerus energi dalam diriku, tak menyisakan apapun selain bongkahan hitam yang usang. Bongkahan hitam tidak berenergi. Kalau cuma itu yang aku punya, lalu dengan apa aku melanjutkan hidup? Dengan apa aku mencintai kamu?
Karena itu, bantulah aku berdoa... Doakanlah kalau hujan turun sore ini juga. Di tempatku saat ini masih mendung, tapi awan gelap nampaknya masih kuat menahan air lebih banyak lagi. Aku jadi pesimis sore ini hujan.
Aku menatap ke luar jendela, sial! Matahari malah menggeser mendung...
Sunday, 24 June 2012
Hai Laki-Laki, Kami Itu Memang Rumit
Teman-teman pria saya sering kali mengeluh, "Gila ya! Cewek tuh bikin bingung. Ga jelas maunya apa. Semua serba salah!" Klise. Sering banget denger yang kayak gitu.
Jujur, sebagai seorang perempuan, saya ingin membocorkan sedikit rahasia tentang perempuan. Kami, perempuan, terkadang memang tidak tahu maunya seperti apa. Saking complexnya pikiran kami, kami sendiri kadang bingung.
Saat makan siang tadi, saya mendengarkan salah satu teman perempuan saya curhat. Dia bilang ada tiga laki-laki yang saat ini sedang dekat dengannya, masing-masing punya cara berbeda, dan sekarang dia sendiri bingung harus pilih yang mana karena dia bingun perasaannya jatuh pada siapa. Rumit.
Tapi itulah kami, perempuan... Complex, dan tidak mudah dimengerti bahkan terkadang oleh diri kami sendiri. Jadi jangan lantas merasa lelah menghadapi kami wahai para lelaki... Daripada lelah, coba gunakan kelebihan kalian dalam hal berlogika untuk membantu kami berpikir lebih jernih. Itu kan fungsinya kenapa kita diciptakan berbeda? Laki-laki berlogika, dan perempuan cenderung lebih berperasaan. Karena perempuan butuh laki-laki untuk membantunya berpikir jernih, dan sebaliknya, laki-laki butuh perasaan halus perempuan untuk membuatnya lebih 'manusiawi' dalam istilah saya.
Jadi, sekarang setelah tahu bahwa kami ini makhluk indah yang rumit, bagaimana kalau kalian mengajari kami bagaimana caranya melihat sesuatu dari sudut pandang simple?
Friday, 22 June 2012
Pikiran Sempit
Terkadang aku berpikir, seandainya kita sama, mungkin tidak akan sulit mencintai kamu. Kalau saja kamu dan aku sama-sama bersujud atau berlutut, mungkin semua jadi lebih mudah. Tidak perlu ada pertanyaan, tidak perlu ada keraguan, tidak perlu ada rasa takut.
Kamu dan aku tidak punya masalah. Tapi mendengar sedikit ceritamu mengenai keluargamu, aku ragu. Aku hanya takut mengulang kesalahan yang sama yang pernah aku lakukan dulu. Perlahan-lahan, menyerahkan diri untuk terbunuh...
Aku tidak mau mati dua kali.
Ketika berpikir seperti ini, di sisi lain aku merasa aku ini pengecut sekali.
Pindah Rumah Seperti Pindah Hati
Beberapa hari ini sedang rindu rumah yang lama, tempat aku menghabiskan masa kecilku hingga usia 18 tahun.
Tempat aku belajar berjalan, mengucapkan kata pertamaku, jatuh dan terluka untuk pertama kali, menangis, medengarkan Mama mendongeng, mendengarkan Papa bercerita dan bernyanyi, terlalu banyak momment luar biasa yang aku lewatkan di rumah itu.
Di rumah itu, ada garis-garis pengukur tinggiku, coretan-coretanku di dinding ketika aku baru bisa menggambar, koran dinding buatanku ketika aku remaja dan mulai suka menulis, surat-surat cintaku yang aku kubur di halaman belakang, termasuk juga semua noda yang aku tinggalkan di beberapa bagian di rumah itu.
Di rumah penuh kenangan itu, aku pernah merasa menjadi orang paling bahagia maupun paling malang di dunia. Aku pernah jatuh, dan bangkit. Aku pernah berproses, menangis sendirian, menari, menyanyi, tertawa, berteriak marah dengan suara yang diredam menggunakan bantal, membanting pintu, sampai membuka pintu kembali untuk meminta maaf. Di rumah itu, aku pernah merasakan hampir semuanya yang mungkin dirasakan manusia.
Rindu, aku rindu rumah yang lama. Sekarang, setelah dijual untuk biaya kuliahku, kira-kira seperti apa rumah masa kecilku itu sekarang ya? Aku yakin sudah banyak yang berubah. Ketika akan pergi, Mama bilang padaku, "Mama percaya kok Fang sama pemilik yang baru. Dia pasti bisa jaga rumah ini." Kata-kata yang sedikit-banyak membantuku ikhlas.
Aku pikir, pindah rumah itu seperti putus dengan pacar. Kita harus pindah, mau tidak mau, dan membiarkan rumah yang lama ditempati orang lain. Sama seperti pacar... Ketika putus, kita harus membiarkan hatinya ditempati orang lain. Kita harus sadar, bukan kita lagi yang tinggal di situ. Move on dan ikhlas. Sulit memang... Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Dan bukan berarti tidak boleh rindu. Pindah rumah itu seperti pindah hati.
Sekarang aku bahagia kok dengan apa yang aku punya. Dengan sebuah kamar di salah satu sudut kota Bandung, yang kini menjadi tempatku pulang.
Monday, 18 June 2012
A Thousand Years
Kamu tahu bagaimana jantungku berdetak ketika kita berdekatan? Tidak bisa kamu bayangkan bagaimana tidak tenangnya, bagaimana ia berdegup lebih cepat dari biasanya. Kamu mungkin tidak tahu, karena aku pandai menyembunyikan. Kamu tidak pernah mendengarnya karena aku menutupi suaranya dengan celotehan-celotehan. Kamu tahu aku begitu pandai berbohong, menyembunyikan perasaan?
Tapi aku sayang kamu...
Tidak karena kamu pintar, ada yang lebih seperti kamus berjalan. Tidak karena kamu manis dan menggemaskan, ada yang lebih tampan. Tidak karena kamu baik, ada yang berbuat lebih banyak hingga rela mengorbankan tubuh dan waktunya. Tapi tidak ada yang punya pemikiran segila kamu, dan cara berpikir seterbuka kamu. Tidak ada yang punya sepasang mata bulat seindah milikmu. Tidak ada yang berlaku secuek dan sesimpati kamu dalam waktu yang bersamaan. Tidak ada yang membuatku merasa ingin pergi dan ingin pulang sekaligus.
Tidak ada yang membuatku merasakan sekompleks seperti padamu, sejak hari itu...
Hey, bisa jadi aku buta ya...?
Mungkin benar. Aku buta, buta pada kebaikan. Buta pada kenyataan. Kalau ada orang lain yang begitu mencintaiku yang mungkin lebih daripada kamu, dan bisa dicintai dengan lebih mudah, kenapa kamu masih saja jadi orang pertama yang aku lihat setiap kali aku menatap ke luar jendela?
Kenapa kamu masih saja jadi orang yang aku bayangkan untuk menemaniku duduk menikmati hujan, ditemani cokelat hangat, kopi, atau teh hangat? Sambil berbagi sebuah selimut, berbagi kehangatan.
Kenapa masih cerita-ceritamulah yang ingin aku dengar setiap waktu? Kenapa masih tanganmu yang ingin aku genggam waktu aku takut? Dan bahumu yang ingin ku sandari waktu aku merasa rubuh dan ingin rebah karena lelah? Kenapa masih kamu yang ingin aku ajak berdoa bersama dan menyapa Tuhan setiap waktunya?
Aku buta, aku pasti buta...
Tolong, hatiku butuh kaca mata untuk melihat lebih jelas.
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
Time stands still
Beauty in all he is
I will be brave
I will not let anything take away
What's standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this
One step closer
[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
One step closer
One step closer
[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
Time stands still
Beauty in all he is
I will be brave
I will not let anything take away
What's standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this
One step closer
[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
One step closer
One step closer
[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Satu langkah lebih dekat dengan kamu, aku sadar aku harusnya lari ribuan langkah menjauh dari kamu. Mencintai kamu sama saja dengan menyakiti diriku sendiri. Bukan kalah sebelum berperang, tapi aku sadar aku tidak bisa mengulang kesalahan yang sama.
Saat ini, aku sedang menyerahkan diriku pada kematianku yang kedua...
Akankah kamu menyelamatkanku?
Thursday, 14 June 2012
Hello, December!
Tahun ini, mungkin aku adalah orang yang paling menantikan bulan Desember. Yap! Rasanya ingin Desember bisa dipercepat. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa. Bukan, bukan karena di Desember ada hari Natal, tapi karena Desember tahun ini, aku dibaptis.
Akhirnya. Setelah penantian selama bertahun-tahun, aku sampai pada titik ini. Desember nanti, aku akan mengenakan gaun putih, berjalan menuju altar, bukan untukt menikah, tetapi untuk dibaptis. Yeay! Mungkin untuk orang lain, hal ini tidak terlalu penting. Tapi untukku, hal ini sangat luar biasa. Banyak hal yang aku lalui selama proses pencapian ini, yang pada akhirnya aku harap bisa membuatku lebih dan semakin dewasa.
Sekarang, aku masih membayangkan bagaimana nanti jika harinya tiba. Aku melangkah ke altar, bersama dengan yang lain, mengenakan gaun putih, membawa lilin, diberi kain putih yang dikerudungkan, dibaptis. Dan aku hampir yakin, aku akan menangis.
So, December, I'll remember. :)
Wednesday, 13 June 2012
Maskulinisme
Kalau istilah feminisme pasti sudah akrab di telinga kita ya? Sebuah paham yang menginginkan adanya kesamaan hak dan kesempatan bagi kaum wanita. Bahwa wanita boleh berpendapat, boleh belajar, boleh bekerja, boleh memilih. Boleh melakukan apa yang dulu tidak boleh dilakukan hanya karena ia seorang wanita, punya vagina dan bukannya testis.
Tapi baru-baru ini aku terpikir, kenapa tidak ada maskulinisme ya? Paham yang memperjuangkan adanya kesamaan hak dan kesempatan bagi kaum lelaki. Hal ini membuatku resah... Sadar atau tidak, selain kaum wanita, sekarang ini sebenarnya kaum laki-laki juga sering kali mendapatkan tekanan dari konstruksi sosial.
Pertama, lelaki yang menyukai atau mengenakan warna pink, diasosiasikan dengan gay. Lelaki yang fashionable disebut gay. Pink dianggap warna yang feminim. Padahal, darimana sejarahnya warna pink dideklarasikan sebagai warna milik kaum wanita? Apa yang salah dengan seorang lelaki yang mengenakan warna pink, padahal pink hanyalah sebuah warna, sama saja dengan merah, hitam, biru, ataupun cokelat. Kenapa seolah-olah kejantanan seorang laki-laki, jika diukur dengan warna, hanya terbatas pada hitam, putih, atau warna-warna monoton lainnya?
Kedua, lelaki fashionable. Coba perhatikan koleksi fashion untuk lelaki. Kebanyakan, begitu-begitu saja dan tidak banyak perubahan berarti. Lain halnya dengan fashion untuk wanita. Ketika ada laki-laki yang fashionable, maka ia dianggap kurang laki-laki. Seolah laki-laki diidentikan dengan penampilan yang cuek, dan apa adanya. Padahal, memperhatikan penampilan juga bisa membuat bangga wanita yang berjalan bersamanya. Selain itu, fashion juga menyangkut cara kita mengekspresikan diri. Mengutip kalimat yang saya baca di salah satu majalah fashion terkemuka beberapa tahun lalu, 'Fashion is just not to impress, but too express'. So, why men are not allowed to express theirselves too? Why they are not allowed to express their sense of fashion?
Ketiga, laki-laki tidak boleh menangis, karena menangis menandakan dirinya lemah. Sejak kecil, seorang anak laki-laki sudah dididik untuk tidak menangis. Mereka sudah diajarkan untuk mematikan keran air mata mereka, dan mereka didoktrin bahwa air mata membuat mereka menjadi 'banci'. Kenapa? Padahal Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan untuk menangis sebagai salah bentuk ekspresi. Tidak peduli kamu ini laki-laki ataupun perempuan, kamu punya hak untuk menangis. Menangis bukan tanda cengeng dan lemah. Cengeng dan lemah adalah ketika kamu cuma bisa menangis, tanpa berbuat apa-apa... Bukan berarti kamu tidak boleh menangis...
Keempat, laki-laki tidak bebas berinteraksi dan mengekspresikan perasaannya kepada sesama laki-laki. Tidak seperti wanita, hubungan antara seorang laki-laki dengan laki-laki lainnya seperti sudah didoktrin harus memiliki dinding. Sedekat apapun hubungan mereka, di antara mereka pasti tetap saja ada dinding. Wajar pasti jika kita melihat dua orang wanita bergandengan tangan, berpelukan, atau tidur bersama. Kita pasti tidak akan berpikir macam-macam selain bahwa mereka itu sahabat. Tapi coba apa yang dipikirkan masyarakat jika ada dua orang laki-laki bergandengan tangan di tengah jalan? Sahabat atau bukan, masyarakat pasti akan langsung menganggap mereka itu pasangan gay. Padahal bisa jadi mereka itu sahabat, dan apa yang salah dari dua orang sahabat yang bergandenan tangan?
Keempat hal yang saya sebutkan tadi sebenarnya bukan sesuatu yang memang sejak awalnya tabu. Bukan sesuatu yang menurut suatu agama terlarang. Tapi semua itu merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat. Masyarakat terlanjur mengkonstruksi laki-laki sebagai makhluk yang konstan, tidak boleh terlalu ekspresif, dan harus selalu menjaga citra kuatnya. Tidakkah itu menyedihkan bagi kaum laki-laki?
Jadi saya berpikir, kalau ada feminisme, kenapa tidak ada maskulinisme? Laki-laki juga boleh mengenakan warna pink, boleh fashionable, boleh menangis, dan boleh mengekspresikan perasaan mereka sebebas yang kaum wanita lakukan. Gay adalah masalah orientasi seksual, dan itu tidak bisa dibuktikan 100% hanya dengan melihat hubungan seorang laki-laki yang dinilai terlalu dekat dengan laki-laki lainnya bukan?
Hidup maskulinisme!
Seiring, Bukan Digiring
Aku lelah sendirian... Tapi aku juga nggak mau bersama dengan orang yang nggak tepat. Aku lelah jatuh dan memulai semua dari awal. Lelah... Aku ingin ketenangan.
Kalau kamu berpikir aku ini gadis yang bisa kamu atur sesukamu, dan kamu kurung dalam duniamu, kamu salah. Aku ini seorang gadis yang punya banyak mimpi tinggi. Aku ingin sebuah hubungan, tetapi aku tidak mau merasa sesak. Genggam aku sewajarnya, jangan kelewat erat.
Aku ingin punya keluarga, tapi aku juga ingin melihat dunia. Aku ingin bertemu banyak orang, mempelajari banyak hal, berdiskusi banyak, berpikir banyak, dan mengungkapkan pikiranku. Aku punya konsep sendiri, dan aku bukan tipe gadis yang bisa ikut dan menerima konsep yang ditawarkan orang lain, konsep yang sudah mapan... Aku tidak suka berdebat, aku suka berdiskusi.
Aku feminin... Kalau kamu bilang aku ini terlalu seperti laki-laki karena cara bicaraku, karena kelugasanku, maka maaf, menurutku kamu picik. Tidak bolehkah seorang gadis mengungkapkan pikirannya? Apakah seorang gadis dalam benakmu haruslah senantiasa seperti boneka, yang diam dan mendengarkan? Silakan kecewa... Aku bukan gadis seperti itu.
Aku ingin melihat dunia... Bertemu banyak orang. Pergi ke banyak tempat. Berinteraksi dekat dengan berbagai budaya... Tapi aku butuh seseorang untuk aku pulang. Sekalipun aku pergi, aku bisa yakin aku punya seseorang. Aku punya rumah... Seperti itu pula adanya aku...
Aku ingin seiring, bukan digiring...
Tuesday, 12 June 2012
Mencoba Beradaptasi
Susah rasanya berada di lingkungan yang sebenarnya tidak kamu rasa cocok dengan kamu. Aku sedang merasakannya. Rasanya sulit sekali beradaptasi dengan beberapa temanku. Cara mereka berinteraksi, bersikap, topik obrolannya, semua tidak cocok. Bukan tidak mau beradaptasi... Aku mencobanya... Hanya saja, sering kali aku tiba-tiba berpikir, "Hey, ini bukan aku." Pernah berada di situasi seperti itu?
Ketika kamu adalah seorang yang sangat lugas dan efisien, sementara teman-temanmu tidak seperti itu, pernah berpikir bagaimana rasanya menghadapi situasi seperti itu? Dimana mereka tidak pernah mau memahami kamu, mengerti perasaan kamu, dan mencoba mengenal kamu. Minoritas kalah dengan mayoritas, kamu yang harus menyesuaikan.
Ketika kamu tidak suka dengan topik pembicaraan mereka, kamu yang harus mengalah dan mendengarkan. Entah mungkin dengan ikut tertawa meski itu muna, atau cuma diam.
Aku berpikir kenapa rasanya sulit sekali menghadapi sesama manusia? Baru kali ini mengalaminya... Mungkin ini ujian. Selama ini aku tidak tahu masyarakat yang sesungguhnya.
Satu yang selalu coba aku tanamkan dan aku yakinkan kepada diriku sendiri, "Ga semua orang bisa berlaku seperti apa yang kamu mau, dan bersikap seperti cara yang kamu kenal."
Aku mau tahu sampai berapa lama aku bisa bertahan.
Labels:
curhat sastrawi,
emosi nonjok ubun-ubun,
lagi random
Thursday, 7 June 2012
Where's the Love
Siang ini aku bertanya-tanya, dimana cinta itu sebenarnya? Pada senja yang jingga itukah? Atau goresan tintamu yang membentuk barisan-barisan kata berima?
Pada potret-potret hitam-putihku dalam berbagai pose dan ekspresi yang kau ambil diam-diam? Pada sepotong blueberry cheese cake yang selalu kau gunakan untuk meredam marahku? Adakah cinta bersembunyi di dalam semua itu?
Dimana cinta itu sebenarnya?
Adakah di hujan nakal yang membuat kita sakit berdua? Atau pada setiap lembar bulu di sebuah sayap yang kamu berikan padaku? Sebuah, cuma sebuah sayap, bukan sepasang. Kamu bilang sayap yang lain ada di orang-orang lain karena untuk 'terbang', aku juga butuh orang lain, bukan cuma sendirian.
Mungkinkah cinta itu ada di mata bulatmu? Atau di setiap obrolan-obrolan seru kita?
Dimana, dimana cinta itu sebenarnya meletakkan dirinya?
Monday, 4 June 2012
Like Reflect On You
Entah kamu sadar atau tidak, kita punya banyak kesamaan. Ketika melihat kamu, nyaris seperti aku sedang berkaca. Seperti menghadapi bayanganku sendiri. Apakah kamu juga menyadari hal yang sama? Kamu sering berkata, "Mungkin kita memang...", "Sepertinya kita ini memang...", dan kalimat-kalimat sejenis lainnya.
Kalau aku dan kamu memang nyaris sama, itu artinya apa?
Apa yang kamu pikirkan adalah apa yang juga mengendap dalam pikiranku. Apa yang kamu resahkan, juga menjadi keresahanku. Bagaimana cara kamu bersikap, sedikit-banyak mirip denganku atau dengan aku yang dulu.
Jadi kamu ini siapa sebenernya?
...
Kita ini apa sebenarnya?
Semakin mengenalmu, semakin melihat diriku. Belum pernah menemukan yang seperti ini sebelumnya.
Thursday, 31 May 2012
When I Said Enough For You, For Us
Malam ini aku duduk menghadapi laptop, dan untuk kesekian kalinya mengingat pertemuan kita sore itu, awal bulan Maret lalu. Kita berdua duduk berhadapan hanya untuk menyepakati bahwa hubungan ini lebih baik diakhiri. Kita berdua memikirkan hal yang sama, dengan dasar alasan yang berbeda.
Kamu. Kamu bilang enam bulan ini aku jadi sangat dewasa. Itu hal yang bagus.... Masalahnya adalah kamu belum mampu mengimbanginya. Kamu merasa itu sebabnya kita semakin sering bertengkar dan saling diam. Entahlah, mungkin kamu ada benarnya. Dulu kamu dan aku tumbuh bersama, dan sekarang setelah terpisah jarak sekitar 160 km, kita tumbuh di jalan masing-masing dengan lama proses pencapaian yang pada akhirnya ternyata menjadikan semuanya berbeda.
Mungkin kamu benar. Aku berubah dan kamu tidak. Pada akhirnya kamu jadi menyesakkan. Imbasnya, aku dan kamu butuh ruang lebih luas. Butuh bernapas lebih lega. Aku sesak karena kamu, dan kamu disesaki olehku. Saling menyiksa. Ibaratkan sebuah rumah kecil yang awalnya dihuni oleh dua orang. Kemudian dua orang itu memiliki anak, dan juga mengajak saudara-saudaranya tinggal di rumah mereka. Lama-kelamaan, rumah yang tadinya dirasa cukup itu jadi terasa menyesakkan. Orangnya bertambah, luas rumahnya tidak. Seperti itulah aku dan kamu, menurutmu.
Untukku, entah kenapa setiap melihat kamu rasanya jadi berbeda. Bukan berarti tidak cinta, cinta... Tetap cinta. Hanya saja rasanya tidak lagi sama. Ketika aku melihat kamu, aku malah berpikir, "Benarkah ini saatnya aku berhenti? Kapan semua ini harus berakhir?" Jahat ya? Aku merasa jahat. Dan aku takut kalau diteruskan aku malah akan semakin bertambah jahat, dan bisa jadi melakukan hal yang lebih buruk pada kamu. Dan kamu tidak layak menerima semua itu...
Terlepas dari apapun sebenarnya masalahnya, aku senang kita bisa kembali baik-baik saja, sebagai teman. Awalnya rikuh memang, tapi lama-kelamaan aku terbiasa. Dan aku pikir mungkin ini keputusan tepat untuk saat ini.
Sekarang, inilah kita. Dua orang teman yang masih sering bertukar kabar dan saling melempar ejekan satu sama lain. Kamu yang masih sering mengeluh pusing gara-gara ujian, pamer karena sekarang main teater, ngejekin aku kambing, atau minta tolong dicarikan nama untuk peliharaan baru kamu. :D
Dan aku masih juga sama. Masih Hujan yang sama, yang kamu kenal bertahun-tahun lamanya. Yang dulu pernah kompakan pilek berdua sama kamu, yang pernah bantuin kamu nyari sendal waktu banjir, yang wangi shampoonya kamu suka, dan yang suka diajak debat sama kamu. Mungkin yang berbeda cara pikirku saja.
Sekarang, malam ini, di depan laptopku, aku mengambil satu keputusan. Aku ingin mengemasi semua kenangan kita termasuk pertemuan kita tiga bulan lalu itu, dan memasukkan semuanya ke dalam satu kotak yang kemudian aku simpan jauh-jauh. Sudah cukup... Aku harus melanjutkan semuanya lagi.
Tentang Kegelapan yang Sering Kali Didiskreditkan
Lagi suka nulis tentang kegelapan dan cahaya. Entah kenapa. Mungkin karena lagi ingat sama hubungan yang kekurangan cahaya? OK, enough with those silly stuffs.
Kembali ke topik yang sebenarnya, banyak orang yang aku kenal takut sama kegelapan. Sisanya, bukan takut tapi tidak suka. Jarang ada orang yang menyukai kegelapan. Mereka bilang kegelapan itu menakutkan, membuat kita merasa dibekap sepi, dan merasa sendiri. Banyak manusia benci merasa sendiri.
Aku, aku suka kegelapan. Tidak sejak kecil, waktu kecil aku takut kegelapan. Tapi entah sejak kapan aku jadi berbalik menyukainya. Mungkin kasusnya sama dengan menyukai seorang cowok yang sebelumnya setengah mati kamu benci dan kamu maki-maki. Yang jelas tiba-tiba saja pada suatu hari, aku melihat kegelapan itu indah sekali... Aku melihat seni dan suatu pengorbanan dalam kegelapan.
Kita tidak akan tahu terang tanpa adanya kegelapan. Kita tidak akan pernah menghargai cahaya jika kita tidak pernah merasakan kegelapan. Sama halnya dengan kamu tidak akan tahu bahwa es krim itu manis dan enak, kalau kamu belum pernah merasakan rasa pahit dari obat misalnya? Kira-kira seperti itu.
Waktu kecil aku selalu ingin jadi cahaya. Aku selalu berdoa, "Tuhan, jadikan aku cahaya..." Hingga suatu malam aku berpikir, tidakkah doaku ini kelewat egois? Bagaimana kalau Tuhan tidak mau aku jadi cahaya? Bagaimana kalau Tuhan punya kehendak lain?
Maka dari itu, aku mengubah doaku. Tidak lagi memaksa untuk dijadikan cahaya, tetapi menyerahkan semuanya kepada Dia. Aku berdoa, "Tuhan, aku mau jadi cahaya. Jadikanlah kalau memang itu kehendak-Mu. Kalaupun enggak, nggak pa-pa kalau kamu mau jadiin aku kegelapan. Jadilah... Jadikanlah aku kegelapan yang mampu membuat orang lain menghargai setiap cahaya yang dia miliki dalam hidupnya."
Sekarang ini, jujur saja, aku belum tahu apakah aku ini terang atau kegelapan.
Tuesday, 29 May 2012
Sebuah Hubungan yang Kekurangan Cahaya
Dear Mr. Adorably Flat,
(sebuah refleksi tentang hubungan yang berakhir karena kekurangan cahaya)
Kenapa akhir-akhir ini lagu 'Adelaide Sky' selalu berhasil membuat aku ingat kamu dengan cara yang berbeda? Entah sedih atau membahagiakan, aku nggak juga bisa memilih satu di antara dua istilah itu. Boleh menyebutnya abu-abu saja? Meski belum lama ini kita berdebat karena kamu nggak suka warna abu-abu yang menurut kamu nggak jelas itu.
Yang pasti, akhir-akhir ini lagu 'Adelaide Sky' ada dimana-mana, di sekitarku. Di senandung fals temanku, gumaman tidak jelasnya, di materi tugas temanku yang lain, di link yang nggak sengaja aku temukan, di angkot dalam bentuk ringtone handphone seseorang, dimana-mana, dimana-mana, di hati aku. Kamu mau bikin apa sebenarnya? OK, bukan kamu mungkin, Tuhan. Tuhan mau bikin apa sebenarnya?
Tuhan mau aku dan kamu kembali jadi kita? Benarkah? Aku nggak yakin. Bisa jadi Tuhan cuma iseng saja. Tanpa pretensi tertentu.
Kamu pernah bilang di dunia ini nggak ada yang namanya kegelapan, yang ada adalah kondisi ketiadaan cahaya. Kalimat yang juga ada di salah satu scence film bersejarah kita, 'Kambing Jantan', yang diambil dari salah satu tokoh favorit aku, Albert Einstein. Mungkin memang benar... Nggak ada yang namanya kegelapan, yang ada adalah kondisi ketiadaan cahaya. Sama seperti yang dipikirkan Radith di film itu, aku juga memikirkan hal yang sama.
"Tidak ada yang namanya kegelapan. Yang ada adalah ketiadaan cahaya."
Kalau pola pikir itu diterapkan untuk menganalisis hubungan kita, itu berarti hubungan kita bukan gelap, tetapi kekurangan cahaya. Iya kan? Jadi yang perlu kita lakukan sebenarnya bukan berpisah. Tapi cukup menekan saklar dan menambah cahayanya... Atau mungkin membuka jendela lebih lebar supaya cahaya bulan bisa masuk lebih banyak. Mungkin kita akan bisa melihat lebih banyak hal indah dalam hubungan kita.
Sesimple itu. Sesimple itu sebenarnya...
Sayangnya, aku nggak tahu dimana letak saklarnya atau bagaimana cara membuka jendelanya. Tidak, bukan cuma aku yang nggak tahu. Aku pikir kamu juga nggak tahu...
Saturday, 26 May 2012
Ready&Dare To Love You Now
Ada terlalu banyak ruang kosong. Kosong karena ditinggalkan, atau karena memang tidak pernah diisi. Akhirnya, terbuang percuma. Teronggok sia-sia. Keberadaannya jadi tidak memiliki arti. Useless...
Aku pikir itu masalahnya. Aku merasa ada yang kosong, tanpa pernah tahu alasan sebenarnya kenapa aku merasa kosong. Sebenarnya, aku merasa kosong karena selama ini ruang tersebut memang aku biarkan kosong. Rasa takut, ragu, dan gengsi membuatku memilih membiarkan ruang itu tetap kosong dan menolak siapapun atau apapun yang berniat mengisinya.
Ketika ada sesuatu atau seseorang yang hadir dan ingin mengisinya, aku akan menarik diri, menghindar dan lari. Kurang-lebih seperti itu, seperti pengecut. Ya, aku menyebut diriku sendiri kurang berani. Aku ingin merasakan sesuatu tanpa pernah berani terjun langsung merasakan semua itu. Hanya duduk diam di pinggiran, menunggu kecipratan.
Aku takut. Aku takut mencintai ketika aku tahu aku harus kehilangan. Aku takut mencintai ketika aku sadar bahwa mau bagaimanapun tidak mungkin ada jalan. Seperti yang terjadi bertahun-tahun lalu. Aku takut mengakui pada diriku sendiri bahwa yang aku rasakan pada Lelaki Senja itu berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Aku takut mengakui bahwa aku sanggup berjuang mempertahankan kami sekalipun usiaku belum genap 16.
Yang ada di pikiranku saat itu adalah bahwa aku cuma gadis berusia 15 tahun, yang tidak bisa apa-apa. Aku terlalu pengecut untuk menuruti permintaannya dan mempertahankannya. Baiklah, itu sebuah kesalahan. Dan aku merasa kosong sekarang.
Tapi kini, aku sadar apa yang harus aku lakukan. Mungkin waktu memang tidak mungkin kembali, dan kesempatan nggak pernah datang dua kali. Tapi bukan berarti aku tidak bisa mendapatkan semuanya lagi? Bukan berarti aku tidak bisa merasa lengkap lagi. Sekarang ini, sedikit demi sedikit aku juga mulai merasa kembali 'lengkap'. Aku punya kehidupan yang menyenangkan yang tidak henti-hentinya aku syukuri, dan aku sedang belajar membuka diriku lebih luas lagi.
Aku tidak mau takut bertaruh lagi. Aku mau kembali bermain sekarang... Ingin terjun, bukan cuma menanti cipratan dari pinggiran. Aku mau jatuh cinta, berani dicinta, dan merasa hidup. Dan aku menikmatinya...
Seperti ketika saat aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan kamu, mengobrol dan sedikit-sedikit bercanda, seperti apapun bentuk interaksi di antara kita, begitu aku nikmati. Bisa melihatmu dalam satu hari, dan berpikir betapa miripnya kita satu sama lain, aku menikmatinya... Meski aku sendiri nggak tahu akan kemana semua ini berujung, dan aku masih saja merasa kita tidak punya jalan. Tapi aku memberanikan diri mengakui, dan tidak mau berbohong pada diriku sendiri. Aku mengagumi kamu, mata dan senyummu, pribadimu, pemikiran-pemikiranmu, caramu memandang sesuatu, mimpi-mimpimu dan caramu menceritakannya, termasuk segala hal dalam hidupmu.
Terima kasih karena telah membuatku terbangun dan berani jujur...
Friday, 18 May 2012
Terlalu Banyak Berpikir
Aku tahu aku terlalu banyak berpikir. Setidaknya, orang-orang di sekitarku bilang begitu. Mereka sering bilang, "Ayolah... Berhentilah berpikir. Berhentilah memikirkan hal-hal yang nggak ada hubungannya sama kamu." Rata-rata bilang seperti itu.
Aku sendiri tidak merasa aku terus-menerus berpikir. Atau, tanpa sadar aku memang seperti itu? Ini mungkin seperti apa yang disebutkan dalam Johari's Window. Ruang yang orang lain lihat, tetapi tidak aku lihat. Mungkin kurang-lebih seperti itu.
Baiklah, anggap saja jika memang aku ini terlalu banyak berpikir. Termasuk untuk urusan mencari pacar. Kalau begitu apa salah? Apa aku tidak boleh berpikir? Memikirkan hal ini, aku jadi merasa bahwa jika memang benar seperti itu, maka aku butuh orang yang mampu membuatku berhenti berpikir. Mampu membuatku memutuskan berhenti pada dia.
Lalu, apakah itu kamu? Entahlah. Sejauh ini kamu belum membuatku merasa seperti itu.
Saturday, 12 May 2012
Akhir Dari Harapan Singkat
Aku bukan orang yang pandai menyimpan rahasia. Ini kekuranganku sejak kecil dulu. Lebih-lebih lagi tentang perasaanku. Mama bilang, emosiku selalu tergambar jelas dari mata dan air mukaku.
Aku mengagumi kamu. Mungkin kamu dan beberapa orang lainnya tahu itu.
Aku mengagumi kamu. Sampai aku tahu kalau kamu masih mengharapkan seseorang itu. Sekarang aku tahu itu sebabnya kenapa aku dan kamu tidak berlanjut. Tidak ada impression-impression yang berikut. Dan saat aku tahu, aku sadar aku dipijakkan pada kenyataan. Dan kali ini, rasanya cukup sakit. Sedikit...
Tapi di sisi lain, aku juga senang. Senang melihat kamu masih begitu memiliki kepercayaan dan optimis bahwa suatu hari nanti, orang itu bisa mencintai kamu. Aku senang ketika membaca barisan kalimat itu. Ada doa yang tulus terselip di senyumku. Sungguh... Aku harap Tuhan mendengar doa kamu dan penantian kamu itu berbuah baik.
Mungkin orang akan berpikir, lalu aku bagaimana? Yah, pergi... Berpijak pada apa yang nyata dan mengambil jarak dari kamu. Melihat kamu dari jauh, mendoakan kamu, mengalir bersama waktu, membiarkan rasa kagum ini, berharap kamu dapat yang terbaik.
Satu hal yang aku pelajari saat ini, aku harus belajar diam. Mengagumi dalam diam, berdoa dalam diam, menjalani waktu dengan diam. Aku harus belajar diam... Karena terkadang diam lebih menguntungkan bagi semuanya...
Jadi, ini akhir. Setelah ini, aku memilih diam. Bagaimanapun kamu, aku akan tetap diam. Bukan menunggu, tapi membiarkan... Semua ini mungkin memang cuma karena itu bukan kamu, atau aku yang datang di waktu yang salah. Semua ini membuatku memilih berpuasa membagi rahasia.
Jadi, Kafe, semangatlah untuk terus berharap, dan terima kasih... Terima kasih sudah ada meski singkat.
Labels:
curhat sastrawi,
emosi nonjok ubun-ubun
Thursday, 10 May 2012
All I Have to Do Now
Yang harus saya lakukan sekarang adalah menjejakkan kaki saya kembali pada kenyataan. Berhenti memabukkan diri dalam balon-balon ilusi dan menjadi diri saya sendiri.
Bukan saya tidak mau berharap, tetapi saya lelah berharap sendirian. Mungkin cuma saya yang mengharapkan ada pertemuan selanjutnya. Mungkin cuma saya yang berharap kita bisa saling mengenal lebih dalam. Yang saya baca, kamu menjadikan semua ini menjadi komedi. Kenapa kamu jadi terasa sangat jauh?
Kalau kamu mau, kamu tinggal datang dan berdiri di hadapanku. Kita mengobrol tentang apa saja, saling menceritakan tentang masing-masing. Sesimple itu sebenarnya...
Sekarang semua terserah kamu.
Labels:
curhat sastrawi,
emosi nonjok ubun-ubun
I Change The Way I Pray
Sejak kecil, saya suka berdoa. Hobi saya, ngobrol dengan Tuhan.
Saya masih ingat kalau orang pertama yang memperkenalkan saya pada doa dan mengajarkan saya untuk berdoa adalah Mama saya. Di usia saya saat itu, saya diajarkan untuk duduk yang manis, mengatupkan kedua tangan saya, menekuk dan kemudian mendekatkannya ke dada, dan setelah itu memejamkan mata. Berdoa. Begitu konsep berdoa bagi saya sejak dulu.
Tapi beberapa hari ini, saya mengubah cara saya berdoa, terutama sebelum makan. Tidak lagi menutup mata, tetapi justru membukanya dan menatap makanan di hadapan saya. Berterima kasih pada seluruh bahan-bahan makanan di hadapan saya yang sudah rela mengorbankan dirinya untuk menjadi sumber energi bagi tubuh saya. Dan berterima kasih kepada cinta terbesar saya, Bapa di Surga, atas berkat yang boleh saya nikmati ini.
Begitulah cara saya mensyukuri nikmat dalam hidup saya saat ini. Kalau kamu, bagaimana cara kamu mensyukuri nikmat kamu?
Tuesday, 8 May 2012
Sarang Saya Sekarang Ini
Tirai warna pink dan ungu, seprei warna pink, wall of art bikinan sendiri yang sayangnya belum sempat dipenuhin, dan tumpukan buku yang secara ga sadar hampir nyampai angka 100 dalam 8 bulan ini. Parah! Perlu pikir-pikir nyari tempat nyimpen buku baru. Haha...
Tapi semua itulah yang bikin saya betah dan ngerasa pulang. Bisa istirahat, tempat saya nulis, baca, dan memikirkan kamu... :)
Monday, 7 May 2012
Upik Abu & Pangeran Kodok
suatu sore waktu kita
saling melepaskan pegangan
kamu dan aku
duduk berhadapan
tidak lagi bersisian
kenapa rasanya jadi sulit
bersentuhan?
padahal dulu kita suka
bertukar kecupan
kisah ini seperti pesta
pestanya Cinderella
berakhir saat
jarum panjang dan pendek
bertemu di angka dua belas
dua belas malam
angka dua belas kita
sudah sampai
harus berbalik dan pergi
tidak ada dansa lagi
sepatu kaca sudah pecah
tidak ada keajaiban ibu peri
aku jadi Upik Abu kembali
lalu kamu,
kamu jadi apa?
sudahlah, Pangeran Kodok saja
melompat-lompat bodoh
mengorek-ngorek
mendambakan lu se te fu ping
Sunday, 6 May 2012
Damn! He's Cute
Damn! He's cute. Tambah lagi satu, adorable menurut saya.
Tubuhnya yang gempal berisi, matanya yang sipit, cambangnya yang seksi, bikin saya jatuh hati. Semudah itukah? Nggak tahu. Saya nggak bilang saya cinta... Wong belum kenal kok. Belum tahu orangnya kayak apa. Tapi first impressionnya, mengesankan. Coba bisa ada second, third, dan impression-impression lainnya. Saya ngerasa saya tertarik buat mengenal cowok satu ini lebih dalam, nggak tahu kenapa. Bukan karena dia ganteng, bukan karena dia cute, bukan karena dia lucu. Sungguh, saya nggak tahu.
Coba bisa ketemu lagi. Ah, I think I wish.
GR-an
Saya itu GR-an. Iya, saya tahu, buruk. Tapi saya cuma GR-an sama orang yang membuat saya tertarik. Itu lebih buruk. Iya kalau orangnya juga tertarik sama saya, kalau enggak?
Saya suka ngeliat kamu tadi malam. Aura kamu mengenakkan, seperti ice cream vanilla. Manis, dingin, membuat saya tersenyum. Saya tertarik sama mata kamu. Sore tadi, sebelum kita bertemu, saya lihat senja tinggal sepotong. Ada yang mengeratnya hingga separuhnya hilang. Kemana? Saya bertanya-tanya. Setelah bertemu kamu, melihat mata kamu, saya dapat jawabannya. Di situ, di mata kamu yang bisa dibilang sipit menurutku. Saya pikir saya tertarik sama kamu...
Dan saya kira kamu juga tertarik sama saya. Saya kira pertemuan malam itu akan berlanjut. Mungkin dengan kamu menanyakan nomor handphone saya, atau saya menemukan bahwa kamu memfolback saya pagi ini. Ah, ternyata tidak satupun. Sedih. Tapi ya sudah... Saya tetap bersyukur sudah bertemu makhluk seindah kamu. Saya berterima kasih sama Tuhan karena Dia sudah menciptakan makhluk seindah kamu untuk saya kagumi. Em, mungkinkah ada pertemuan kedua setelah ini?
Saturday, 5 May 2012
Terus-Terusan Ditanya Kriteria
Banyak yang nggak berhenti nanya kriteria cowok yang saya cari itu seperti apa. Mereka bilang, biar bisa dicarikan. Memangnya tas, baju, atau sepatu? Sepertinya pada gerah kalau saya ini memasang status 'single'. Bawaannya pada pengen nyariin.
Saya ulangi sekali lagi ya, kriteria saya itu sebenarnya hanya harus memenuhi tiga aspek. Logika, moral, dan estetika. That's it. #Pengantar Ilmu Filsafat banget
Tapi untuk kesekian kalinya juga saya tekankan, seperti apa ukuran orang yang saya anggap mampu memenuhi ketiga aspek itu, standarnya cuma saya yang tahu, bukan pakai standar publik. Bisa jadi ketika menurut kalian dia memenuhi, menurut saya tidak. Bisa jadi kalau menurut kalian dia tidak memenuhi, bagi saya justru dialah orangnya. Everything's possible right?
Saya tidak pernah menutup kesempatan kok. Silakan jika ada yang mau mendekati... Silakan tunjukkan, jadi teman saya, kita ngobrol, kita bercanda, kita dekat, dan kita lihat, apakah kita cocok atau enggak. Tunjukkan saja apa yang kamu punya, dan saya juga akan menunjukkan diri saya apa adanya. Biar nanti kita sama-sama menilai dan pada akhirnya memutuskan apakah kita cocok untuk lanjut atau enggak. Simple kan?
Jadi kalau kalian mau nanya kriteria saya, untuk kesekian kalinya saya bilang, kriteria saya itu absolut sekaligus relatif. Absolut harus memenuhi ketiga unsur itu, tetapi relatif penilaiannya apakah orang tersebut memenuhi ketiga unsur tersebut atau tidak. Relatif tergantung pada saya, saya yang memutuskan.
Jadi, ada yang masih mau nanya kriteria saya lagi? #bosanditanya
Wednesday, 2 May 2012
Saya Ini Marmut Merah Jambu*
Perkenalkan. Saya ini Marmut Merah Jambu. Marmut Merah Jambu yang berlari dari satu lingkaran relationship ke lingkaran relationship lainnya, tanpa pernah beranjak kemana-mana. Stagnan sebenarnya, pergerakan yang semu. Berpindah dari satu hubungan ke hubungan lain, tanpa pernah tahu kapan harus berhenti. Sia-sia... Kenapa harus merah jambu? Suka saja, tidak ada alasan khusus. Menyukai sesuatu tidak selalu butuh alasan bukan?
Saya sebenarnya tidak terlalu banyak berpacaran. Hanya saja, masing-masing dari mereka itu unik. Ada yang memacari saya saat pemahaman saya soal cinta masih berada dalam taraf unyu-unyu. Maksudnya, deg-degan, pegangan tangan, nembak, jadian. Ritual-ritual semacam itu... Ada beberapa di antaranya yang memacari saya ketika pemahaman saya mengenai cinta sudah sedikit beranjak dari garis unyu-unyu tadi. Ketika cinta dan pacaran bukan cuma berarti makan malam, nonton film, gandengan tangan, dan ingat tanggal jadian.
Laki-laki pertama saya seorang breaker. Ini dia yang memacari saya ketika saya masih unyu-unyu tadi. Teman-teman saya bilang dia keren, apalagi kalau sudah memperagakan gerakan-gerakan ekstremnya. Saya sendiri cuma bisa ketawa kalau ingat bahwa dia 'nembak' saya ketika sedang melakukan headstand (kayak lagu Peterpan, kaki di kepala, kepala di kaki).
Selanjutnya pernah ada vokalis band sekolah tetangga, anak mami yang dulu pernah saya buat nangis ketika kami masih kelas 1 SD, seorang lelaki sederhana yang amat menggemari senja, seorang playboy yang cuma bertahan dalam hitungan hari, dan cowok random dan galau yang baru saja merayakan perpisahan bersama saya beberapa bulan lalu.
Mereka semua adalah bagian dari proses belajar saya. Proses pemahaman saya akan arti sebuah hubungan, dan betapa berharganya diri serta hati saya. Semua menghadirkan kenangan yang patut saya simpan. Tanpa pernah bersentuhan dengan hidup mereka, saya mungkin tidak akan menjelma menjadi orang yang begitu menghargai komitmen seperti sekarang. Tanpa kehadiran mereka, saya tidak akan merasa lelah dengan sebuah konsep pencarian dan keputusan yang sia-sia seperti saat ini. Saya mungkin akan terus dan terus berlari dari satu lingkaran relationship ke lingkaran relationship lain tanpa pernah belajar.
Terakhir kali, di awal bulan Maret, suatu sore ketika saya duduk menghadapi Mr. Adorably Flat (si cowok random dan galau) di sebuah kafe sambil menikmati kopi dan merayakan perpisahan kami, saya berpikir, "Saya jenuh. Untuk apa semua ini?"
Saya melihat pantulan diri saya di bola mata Mr. Adorably Flat. Saya tampak jenuh dan lelah... Saya sadar saya lelah berlari. Saya lelah memulai sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar saya yakini hingga kemudian harus diakhiri. Saya jenuh saling menyakiti. Saya jenuh bertukar ucapan selamat pagi yang lama-lama terdengar semakin basi. Saya sadar saya tidak butuh pacar hanya untuk sekadar mendapatkan ucapan selamat malam, selamat pagi, atau selamat menjalani hari. Jadi untuk apa semua hubungan sampah ini?
Saya ingin berhenti. Ya, di umur saya yang baru menginjak 19 tahun dua puluh tujuh hari yang lalu, saya sudah merasa saya ingin berhenti. Tidak ingin lagi berlari berpindah dari satu lingkaran relationship ke lingkaran yang lain. Saya cuma ingin satu, yang paling nyaman dan memenuhi, kemudian berhenti. Dan saya tahu saya akan tahu ketika saya sudah bertemu.
Saya ingin berhenti. Dan gara-gara perasaan ini, setiap kali saya melihat kamu, saya berpikir, "Inikah saatnya saya berhenti?"
Hati saya diam. Entah memang tidak tahu jawabannya, atau memang takut untuk mengungkapkan. Takut untuk melukai terlalu awal... Menyebalkan! Padahal apa bedanya terluka kini atau sekarang?
Jujur, saya bosan jadi marmut merah jambu yang berlari dan berputar, terperangkap dalam gerakan yang stagnan. Boleh saya jadi marmut merah jambu yang berhibernasi? Menunggu saat yang tepat dan lingkaran yang tepat untuk kembali berlari.
*terinspirasi dari novel Raditya Dika-Marmut Merah Jambu
Jujur, saya bosan jadi marmut merah jambu yang berlari dan berputar, terperangkap dalam gerakan yang stagnan. Boleh saya jadi marmut merah jambu yang berhibernasi? Menunggu saat yang tepat dan lingkaran yang tepat untuk kembali berlari.
*terinspirasi dari novel Raditya Dika-Marmut Merah Jambu
Suatu Malam di Pinggir Jalan
berdiri berdampingan
bertukar kata
di pinggir jalan
sorot lampu kendaraan
memandikan kita
kenapa harus di pinggir jalan?
gratis.
aku mabuk
mabuk menenggak pesona
jadinya ingin tertawa
tertawa saja. terus tertawa
cuma tertawa
HAHAHA...
terdengar sumbangkah?
aku memang penyanyi yang buruk
tertawa saja buruk
biarlah
kita bertukar kata
tentang apa saja
aku harap kataku tidak sumbang
aku harap maknanya tidak menyimpang
sebab:
saat bertukar kata aku tidak sepenuhnya konsen
mengagumi kamu, berpikir
bagaimana bisa ada perpaduan semacam kamu?
berdiri berdampingan
bertukar kata
di pinggir jalan
sekian lama aku berpikir
berapa lama kita akan terus bersisian?
bertukar kata
di pinggir jalan
sorot lampu kendaraan
memandikan kita
kenapa harus di pinggir jalan?
gratis.
aku mabuk
mabuk menenggak pesona
jadinya ingin tertawa
tertawa saja. terus tertawa
cuma tertawa
HAHAHA...
terdengar sumbangkah?
aku memang penyanyi yang buruk
tertawa saja buruk
biarlah
kita bertukar kata
tentang apa saja
aku harap kataku tidak sumbang
aku harap maknanya tidak menyimpang
sebab:
saat bertukar kata aku tidak sepenuhnya konsen
mengagumi kamu, berpikir
bagaimana bisa ada perpaduan semacam kamu?
berdiri berdampingan
bertukar kata
di pinggir jalan
sekian lama aku berpikir
berapa lama kita akan terus bersisian?
Tuesday, 1 May 2012
Nggak Bisa Pacaran Main-Main
"Kita mah masih muda. Ngapain serius-seriusan? Sekarang mah cari aja dulu yang buat seneng-senengan."
Itu yang dikatakan oleh dua orang teman saya sore tadi.
Ketika mendengar itu, saya berpikir kenapa saya tidak bisa berpikir seperti mereka? Padahal saya sama mudanya dengan mereka. Ah..., apa saya ini terlalu serius menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan pacaran? Tapi apa terlalu serius menanggapinya itu juga salah?
Konsep saya, pacaran itu ya memang untuk serius, targetnya bisa menjadi yang terakhir. Itu kenapa saya belum punya pacar sampai sekarang. Kalau orang-orang nanya, ya saya jawab karena saya mencari orang yang tepat. Kalau ditanya yang tepat itu yang seperti apa, saat ini akan jawab saya belum tahu. Sebut saja, saya akan tahu ketika saya sudah menemukannya.
Bisa jadi orang itu belum saya kenal sekarang. Bisa jadi juga sudah, hanya saja belum saya sadari. Saya tidak bisa mendeskripsikan kriteria orang yang tepat itu.
Dan mau dipikirkan seperti apa pun, saya tidak bisa mengubah konsep pacaran saya. Saya tidak bisa pacaran dengan siapapun hanya untuk mendapatkan perhatian spesial, ucapan selamat pagi, selamat malam, atau selamat berjuang. Saya ya saya, dengan konsep saya. Dengan hati saya yang sering dibilang sudah beku. Bukan dingin lagi, tetapi beku. Mungkin benar, hati saya ini beku. Tapi bukan berarti tidak bisa dicairkan lagi bukan?
Kalau ditanya mau pacaran atau tidak, saya jawab mau. Siapa sih yang tidak mau? Saya masih mau pacaran, belum mau untuk nikah. Tapi saya tidak mau sembarangan memutuskan untuk pacaran, hingga akhirnya saya menyesal ketika hubungan itu berakhir. Buat apa? Dalam hemat saya, yang seperti itu justru membuang waktu dan energi. Apa bedanya pacaran dengan sahabat kalau begitu?
Tuan Tampan Bertopi Tinggi
pagi ini aku didatangi Tuan tampan bertopi tinggi
bersetelan rapi, lengkap dengan dasi
wajah bersih, sedikit jambang dipelihara di sisi
aku nyaris memutuskan untuk jatuh hati
kalau saja...
dia datang tidak mengambil mimpi
mengambil semua, lantas begitu saja pergi
enak sekali
tidak menyisakan barang setitik. habis.
tidak tahukah dianya kalau tanpa mimpi,
aku mati?
Tuan tampan bertopi tinggi
bersetelan rapi, lengkap dengan dasi
apa yang kamu butuhkan dari sebuah mimpi?
sebandingkan dengan meninggalkan seorang gadis mati di sini?
kalau bumi berduka dan waktu terhenti,
semua itu salahmu! salahmu, ya salahmu!
meninggalkan gadis mati seorang diri. tanpa mimpi
tik-tok-tik
waktu yang ditinggalkan Tuan tampan bertopi tinggi
bergulir dingin sekali
apakah tubuhku sedang membekukan diri? karena tak lagi punya mimpi?
Monday, 30 April 2012
Saya dan Cahaya
tidak tahu kenapa
saya dan cahaya
bagai pecandu dengan opiumnya
inginnya mereguk. terus mereguk
tidak puas-puas
cahaya apa saja
matahari yang menyengat
bulan yang merunduk malu-malu
lampu kota
lampu kamar
lampu senter
layar handphone
layar laptop berpendar
titik-titik hujan kemilau
kerlip bintang membuat silau
satu lagi
mata kamu
apalagi cahaya yang itu
lebih dari sekadar nyandu
Bieber, Random Country, and Those Beliebers
Sekeliling saya sedang ramai dengan isu Justin Bieber yang menyebut Indonesia sebagai 'random country' di salah satu sesi wawancaranya. Dimana-mana, yang ramai dibicarakan Bieber. Jenuh.
Berbagai komentar muncul mengenai kejadian ini. Ada yang mendukung Bieber, ada yang tidak. *kenapa nggak ada yang dukung saya? :p
Menurut saya, ini wajar. Segala sesuatu pasti akan menimbulkan berbagai macam reaksi dari dua sisi bukan?
Di satu sisi, Bieber memang patut disalahkan dan minta maaf. Karena, yang dia bicarakan adalah sebuah negara, untuk itu dia harus berhati-hati. Tidak semua orang itu Beliebers yang siap membela dia kapanpun dan apapun yang dia lakukan. Ada beberapa orang yang bahkan nggak kenal siapa Justin Bieber, dan tentu tidak rela jika negaranya disebut sebagai 'random country'.
Tapi di sisi lain, komentar-komentar yang mempersalahkan Bieber pun bisa dinilai berlebihan. Apalagi, di saat dia memang sudah meminta maaf. Ya udah, kalau udah minta maaf, semua selesai. Apa lagi yang harus dipermasalahkan? Masa butuh Biebernya datang langsung ke Indonesia terus salaman sama SBY? Nanti cuma ditanggapin sama curhat. *ups
Tapi saya pribadi juga sebenarnya menyangakan sikap beberapa Beliebers yang langsung saja membela Bieber tanpa tahu duduk permasalahannya, dan tanpa mau mengerti. Bisa jadi ini salah satu bukti bahwa nasionalisme anak-anak muda kita mulai semakin terkikis. Bisa dibayangkan? Rela negaranya disebut 'random country', asalkan itu oleh Justin Bieber? It such a fool!
Saya tahu dia itu star, idola, dan mereka fansnya. Tapi fans juga manusia, yang bisa salah, yang justru butuh diingatkan dan bukannya disemangati untuk terus berbuat salah. Kita pasti mau idola kita menjadi sosok yang semakin dan semakin baik bukan? Saya menyebutnya tumbuh bersama. Jadi, meskipun kita ngefans pada seseorang, kita tetap harus objektif.
Ada banyak hal yang bisa ditulis dari kejadian 'random country' ini. Tapi saya lapar sekarang. Sepertinya harus mencari makan terlebih dahulu. Hm... Andai Justin Bieber di sini sekarang, saya ajak dia wisata kulinet supaya dia tahu kalau 'random country' yang dia bilang ini, punya banyak makanan luar biasa.
Akulah Balon
aku masihlah
sebuah balon di genggamanmu
di sela-sela jemari mereka
melayang diisi gas
diikat seutas tali
menjuntai tipis
berakhir di jari jemari
genggam aku sesaat
tahan aku sebentar
jangan seterusnya
aku ini ada
tapi bukan untuk selamanya
pilihanku cuma dua
kehabisan gas,
kemudian kempis
terkulai lemas
di genggamanmu
atau lepas
terbuai angin di langit luas
melayang hingga habis gas
mati dan jatuh entah dimana
yang pasti,
bukan di depanmu
Pagi Mentari
pagi mentari...!
pagi ini kamu agak genit
sedetik redup,
detik kemudian merona bagai pipi perawan
malu-malu
mengajak bermain
permainan apa yang kamu minta pagi ini?
mari kita mulai...
aku siap meladenimu
seharian
cahaya siapa yang akan bersinar hingga akhir?
Beating Myself
Saya sedang berusaha mengalahkan diri saya sendiri dalam beberapa hal. Bukan maksudnya mau menolak atau menaklukkan apa yang sudah ada, hanya saja saya pikir ini demi kebaikan saya sendiri.
Ada banyak hal yang terlalu menguasai diri saya hingga akhirnya suatu ketika menjegal saya dengan sendirinya. Jahat! Untuk itu, saya yakin harus ada yang berhasil saya kalahkan dari dalam diri saya sendiri.
1. Penyesalan tentang kamu
2. Ketakutan keluar dari comfort zone
3. Rasa ingin menunda
4. Label negatif
Tidak bisa dijelaskan satu per satu. Yang jelas, keempat hal tadi begitu mengikat saya dan pada akhirnya mengganggu rutinitas saya. Mungkin kalian juga merasakan hal yang sama. Sekarang ini mungkin ada yang masih merasa boros, malas, pendendam, atau mungkin sulit menepati janji? Pernah berpikir nggak kalau mungkin sifat dan sikap itu sedikit-banyak sudah menyusakan orang banyak? Kadang, kita suka nggak sadar.
Well, ada yang mau bergabung dengan saya untuk mengalahkan beberapa hal dalam diri kita?
Saya nggak terburu-buru... Saya yakin semuanya harus melalui proses yang dijalani dengan ikhlas dan komitmen. Ini tidak akan mudah.. Mengalahkan orang lain saja tidak mudah, apalagi mengalahkan diri sendiri. Tapi saya berusaha optimis saya bisa.
Morning sunshine... Let's shine this whole new day again...!
Sunday, 29 April 2012
Mencari Keikhlasan
Malam ini, sambil sesekali menatap titik-titik hujan di jendela, saya mencoba merangkai kata yang sanggup mendefinisikan perasaan saya. Ditemani lagu-lagu Frente, saya mencari dan memilah-milih kata.
Cinta. Apa benar kata itu kata yang tepat? Saya sadar saya ragu keluar dari comfort zone saya. Tidak mudah memang membuat saya keluar dari dunia yang sudah saya bangun. Saya bukan penjudi yang ulung... Saya sudah berulang kali berjudi, menyerahkan semua kepingan koin yang saya punya, dan hasilnya saya kehilangan jauh lebih banyak dari apa yang saya serahkan di meja perjudian. Dan sekarang, kepingan koin yang tersisa pada saya tidak banyak lagi... Untuk itu saya merasa saya perlu berhati-hati.
Di antara obrolan-obrolan kita, kebersamaan kita meneguk senja, kekaguman saya pada kamu dan pemikiran-pemikiran kamu, pada kesederhanaan kamu, bisakah ini disebut cinta?
Andai saya bisa yakin untuk jatuh cinta semudah itu. Tinggal menarik napas, menjatuhkan diri, kemudian membiarkan diri saya tercebur ke dalam perasaan ini. Andai bagi saya jatuh cinta itu semudah membuat semangkuk cereal untuk sarapan pagi saya tidak akan pusing dan dengan gilanya menggunakan titik-titik hujan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian saya dari pikiran tentang perasaan ini.
Butuh keikhlasan untuk diam, menyimpan, dan berusaha untuk tetap tenang. Butuh keikhlasan untuk mengakui bahwa saya jatuh cinta pada kamu. Dan terakhir, butuh keikhlasan untuk siap kehilangan dan kembali terluka.
Memang kedengarannya sangat pesimis. Saya biasanya adalah orang yang sangat optimis terhadap sesuatu. Tetapi entah kenapa, untuk yang satu ini, saya memilih tidak berekspektasi apa-apa. Jika itu memang kamu, saya akan berlutut, menutup mata, mengatupkan kedua tangan, dan bersyukur. Jika itu bukan kamu pun, saya akan tetap melakukan hal yang sama. Sekarang saya hanya ingin mencari keikhlasan.
Mungkin mencarinya di sini, di kamar yang bernuansa pink dan ungu. Tempat saya menghabiskan waktu. Mungkin mencarinya di sana, di tempat kita biasa mereguk senja. Mungkin mencarinya di antara kilatan-kilatan bintang palsu. Mungkin mencarinya di lipatan-lipatan kemeja abu-abumu. Mungkin mencarinya di bawah secangkir kopi dengan satu sendok gula, teman kala aku menjadi 'kalong'.
Pada jejak basah sepatu kita di tanah selepas hujan. Pada tumpukan-tumpukan buku yang baru ku bereskan. Pada pagi yang membuatku merasa jatuh cinta berkali-kali. Atau justru malah pada kamu sendiri?
Thursday, 26 April 2012
Benang Kusut
ada untaian benang
panjang berjuntai-juntai
minta dirunut
minta digulung
minta dirapikan
lelah saling membelit
sini, sini... aku bantu
merunut satu per satu
mencoba mencari pangkal
dan menemukan ujung
menggulung dan menggulung
dari gulungan kecil
tumbuh menjadi besar
seolah diberi makan
gulungan benang yang lucu
kenapa tak habis-habis?
jemariku lelah
semakin tidak konsen
semakin takut
takut untaian ini tidak habis-habis
untaian benang jadi kusut!
menyebalkan!
semrawut. aku jadi kalang-kabut
bagaimana ini?
jemariku terbelit
mau berhenti tidak bisa
kelewat lelah untuk lanjut
untaian benang apa ini sebenarnya?
kenapa begitu kusut?
ku tengok lagi ujung hingga pangkalnya
ternyata benang ini adalah
: perasaanku
panjang berjuntai-juntai
minta dirunut
minta digulung
minta dirapikan
lelah saling membelit
sini, sini... aku bantu
merunut satu per satu
mencoba mencari pangkal
dan menemukan ujung
menggulung dan menggulung
dari gulungan kecil
tumbuh menjadi besar
seolah diberi makan
gulungan benang yang lucu
kenapa tak habis-habis?
jemariku lelah
semakin tidak konsen
semakin takut
takut untaian ini tidak habis-habis
untaian benang jadi kusut!
menyebalkan!
semrawut. aku jadi kalang-kabut
bagaimana ini?
jemariku terbelit
mau berhenti tidak bisa
kelewat lelah untuk lanjut
untaian benang apa ini sebenarnya?
kenapa begitu kusut?
ku tengok lagi ujung hingga pangkalnya
ternyata benang ini adalah
: perasaanku
Out From My Comfort Zone
Banyak orang takut keluar dari comfort zone. Dalam hal perasaan, saya salah satunya.
Saya pernah menemukan orang yang tepat, kehilangan orang tersebut, berjuang bangkit bertahun-tahun, dan sekarang saya berhasil sembuh oleh waktu. Saya berhasil belajar dan berhasil mendapatkan kembali diri saya yang dulu. Dan saya menikmatinya....
Karena terlalu menikmatinya itulah, pada akhirnya saya jadi takut. Takut untuk kehilangan diri saya lagi, takut kalau kehilangan hidup saya lagi.
Kemarin, seorang kenalan saya berkata seperti ini,
"Kamu itu belum mampu mendefinisikan perasaan kamu sendiri. Kamu juga belum mau jujur sama diri kamu sendiri..."
Kena banget! Tepat di sasaran. Saya masih belum berani tegas ke diri saya sendiri kalau saya suka sama seseorang. Kenapa? Saya takut belum menemukan orang yang tepat. Pada akhirnya, saya mati-matian berusahan menolak. Meski saya tahu, menolak itu bukan jawabannya.
Tuesday, 24 April 2012
Sabtu Malam, Duduk Berhadapan Dengan Kamu
Sabtu malam lalu, di sebuah cafe, menikmati secangkir lemon tea hangat. Duduk berhadapan dengan kamu, menunggu kamu selesai menghabiskan makan malammu, terperangkap karena kamu memaksaku menemanimu makan malam. Padahal aku baru saja makan sebelumnya, bersama teman-temanku, sepulang nyanyi-nyanyi karaokean mengeringkan tenggorokan. Kamu memang sahabatku, yang punya banyak mau, dan sejuta cara untuk membuatku menuruti kamu. Terlalu...
Disekap rasa bosan, aku mulai melakukan hobiku, mengamati orang. Dan kali ini, korbannya adalah kamu.
Duduk di hadapanku, rambut pendek tercukur rapi, sepasang mata sipit yang selalu hilang ketika tertawa, hidung yang cukup mancung, dan bibir yang entah sudah berapa milyar kali menyunggingkan senyum untukku sejak kita bertemu pertama kali dulu. Pipi yang tampak sedikit lebih gemuk dibandingkan dua bulan lalu, tubuh tinggi dan proporsional yang malam ini dibalut T-shirt putih polos dan jaket berwarna cokelat kopi dan celana jeans berwarna hitam, kulit putih yang dulu membuatku iri karena tidak juga berubah jadi hitam berapa lamapun dijemur di bawah terik matahari.
Di hadapanku, duduk kamu, sesosok laki-laki, sahabatku sejak kecil, yang diberi IPK 4.10 oleh teman-temanku karena menurut mereka berhasil memenuhi standard bibit, bebet, dan bobot cowok idaman. Memandangimu seperti itu, aku jadi bertanya pada diriku sendiri,
"Kenapa nggak bisa mencintai kamu?"
Teman-temanku bilang, kamu itu ganteng, mapan, mandiri, baik, seiman, keluargamu (terlalu) baik padaku, dan yang terpenting menurut mereka, sangat mencintaiku apa adanya. Berjam-jam mereka mengatakan aku bodoh ketika aku tidak juga bisa mengubah status kita dari sahabat menjadi pacaran. From a friend, to a lover. Dengan alasan, aku merasa bukan kamu orangnya... Entah kamu yang bukan untuk aku, atau aku yang bukan untuk kamu.
Aku coba menggunakan sisa-sisa logikaku. Dengan segala yang kamu punya, dan dengan segala yang sudah kamu lakukan selama ini sebagai sahabat maupun sebagai seorang laki-laki yang kata kamu mencintai aku, sudah lebih dari cukup alasan untuk memilih kamu dan menghentikan pencarianku.
Selama ini, kamu selalu ada sebagai orang yang tepat, di waktu yang tepat.
Dan kamu juga tidak pernah berhenti percaya... Meski tidak pernah berhenti khawatir juga.
Tapi nyatanya sampai detik ini tidak bisa juga. Hatiku nggak ingin menyerah pada logika. Dengan keras kepala, ia tetap saja berbalik ketika kamu mengatakan cinta, melangkah mundur ketika kamu mendekat. Ia tetap saja berkata padaku setiap kali aku berpikir untuk memilihmu, "Bukan dia... Tidak bisa."
Kamu percaya hatiku bilang seperti itu? Kamu pasti marah, aku sendiri marah. Marah karena aku tidak mengerti kenapa. Marah karena aku tidak mengerti kenapa tidak bisa. Namun semarah apapun, pada akhirnya kamu tahu aku tetap mempercayai hatiku.
Kamu meletakkan sendok dan garpumu. Makanan di piringmu sudah habis tak bersisa.
"Kenapa kamu ngeliatin aku aja dari tadi? Masih marah?"tanyamu.
Entah marah atau tidak, aku cuma diam. Seperti yang sudah aku hapal, kalau sudah seperti itu, tanganmu akan terjulur ke seberang meja, menarik pipiku gemas, dan mengacak-acak rambutku sampai aku merajuk sebal baru kamu berhenti.
"Tambah cantik jadinya kalo marah. Mau bikin aku tambah suka?"
Mendengar itu aku kembali tertegun, tidak tahu harus menjawab apa. Aku mengambil secangkir lemon tea ku, dan meminumnya seteguk sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela. Melarikan diri.
Sial! Lemon teanya masih panas, belum hangat. Aku mengipas-ngipas lidahku yang terbakar. Kamu tertawa sangat puas sambil menyodorkan segelas ice cappucinno pesananmu.
"Tehnya masih panas Ciel... Tiup dulu makanya. Kamu kan nggak pernah suka yang terlalu panas,"ujarmu sambil tersenyum geli.
Gosh, kamu memang yang selalu hapal apa yang aku suka dan aku tidak suka. Bahkan kadang kamu lebih ingat daripada diriku sendiri.
Aku kembali berpikir, laki-laki sebaik kamu, kenapa tidak bisa juga aku cintai? Dan kamu tidak juga menjauh, membuatku semakin merasa bersalah. Merasa bersalah karena menerima perhatian kamu yang entah itu diberikan sebagai sahabat atau sebagai laki-laki yang mencintaiku.
Aku berpikir apa yang salah? Di sebelah mana? Di aku atau di kamu? Apa yang kurang?
:aku pikir kesalahannya bukan ada pada kamu. Kekurangannya juga bukan ada di kamu. Cuma akunya saja yang belum mampu mencintai kamu. Hatiku belum mengizinkannya, dan nggak tahu apakah akan mengizinkan atau nggak.
Ditambah lagi, kamu tidak mau pergi dan menjauh, bahkan mengambil sedikitpun jarak. Kamu mau semuanya berjalan seperti biasa saja. Bagaimana bisa? Karena sekarang, sejak hari itu, setiap kali kita duduk berhadapan seperti Sabtu itu, aku tidak mengerti bagaimana harus memandangmu? Sebagai sahabat kecilku sekaligus partner in crimeku, atau laki-laki yang mengatakan cinta padaku?
Dan setiap kali kamu melakukan sesuatu untukku, aku selalu merasa bersalah karena tidak bisa membalasnya sesuai dengan harapanmu. Seperti Sabtu malam itu...
Ketika aku sudah duduk di kursi penumpang, di sebelahmu yang sedang menyetir, menyusuri jalanan Bandung yang ramai menuju kosanku, aku masih saja merasa bersalah. Tidak bisa tidak.
Subscribe to:
Posts (Atom)